Pesta sebulan penuh Piala Dunia ke-19 telah usai. Apa yang bisa kita petik selain kian melekatnya julukan sebagai “bangsa nobar”?
Subuh tadi, setiap sudut negeri ini dimarakkan dengan hajatan nobar alias “nonton bareng” final Piala Dunia 2010 antara Belanda melawan Spanyol. Mulai dari gang-gang di perkampungan, lapangan, kelompok-kelompok sosial, sampai kediaman pribadi Presiden SBY di Puri Cikeas, Bogor, semua larut dalam kesukaan. Tak peduli puncak perhelatan sepakbola empat tahunan ini berlangsung pada Minggu malam alias esok harinya merupakan hari aktif kerja.
Memangnya, siapa yang bertanding di Stadion Soccer City, Johannesburg, belasan ribu kilometer dari tanah air kita? Bukan soal, apakah Belanda atau Spanyol, atau tim lain, tapi sepakbola sudah menjadi ajang paling pas bagi warga Indonesia untuk melupakan diri sejenak (moga-moga benar hanya sejenak) dari kesulitan yang ada. Untuk sementara, lupakan tarif listrik naik, ledakan kompor gas di mana-mana, pencurian uang pajak, membengkaknya tabungan perwira polisi, sampai pembacokan aktivis anti-korupsi.
Saat bersuka menyaksikan detik-detik final Piala Dunia begini, ingatan pun melayang empat tahun lalu. Saat itu, kapten Perancis Zinedine Zidane menerima kartu merah usai menanduk gelandang Italia Marco Materazzi dalam final yang akhirnya dimenangkan Italia lewat tos-tosan. Seandainya saja Zidane tidak dikeluarkan karena mengasari Materazzi –konon tersinggung atas makian provokatif pemain asal Inter Milan itu- mungkin Perancis bisa menang di babak perpanjangan waktu. Atau sekalipun tetap berakhir dengan adu penalti, tim ayam jantan tak kehilangan eksekutor handalnya.
Konon juga, makian yang dikeluarkan Materazzi sama dengan yang diungkapkan Nicolas Anelka terhadap pelatih Raymond Domenech, sehingga Anelka diusir dari skuad Perancis jelang partai ketiga Grup A melawan Afsel. “Dirty son of whore!” begitu Materazzi mengumpat Zidane, dan juga Anelka berteriak di kamar ganti pada waktu istirahat partai Perancis melawan Uruguay yang akhirnya dimenangkan Diego Forlan dkk 3-1.
Tapi, kini beredar rumor baru bahwa bukan kalimat “Dirty son of whore!” –artinya kamu anak haram pelacur- yang membuat Zidane berang. Saat kalimat pertama itu terucap dari mulut Materazzi, masih ada kesabaran dalam diri pemain keturunan Aljazair itu. Tapi, justru kalimat kedualah membuat Zidane marah dan menghujamkan gundulnya ke dada Materazzi yang selama pertandingan terus memepet dan menarik-narik kausnya. Mau tahu apa ledekan provokatif kedua Materazzi? Ia berucap. “Lu mantan pemain PSSI ya?” Zidane pun tak terima, sambil menyerudukkan kepalanya, ia berkata “Lu boleh hina keluarga, tapi jangan bilang gue produk PSSI…”
Well, kita tak tahu, sampai kapan PSSI terus membiarkan Indonesia hanya menjadi penonton di pentas akbar sekelas dunia, jika tak ada perbaikan sistematis dimulai dari kepalanya sendiri. Jika tidak, maka mimpi Bambang Pamungkas untuk melihat adik-adiknya tampil di Piala Dunia tak akan pernah terwujud. Seperti dalam dialog antara tiga pemain bola dunia dengan Sang Pencipta.
Park Ji Sung bertanya kepada TUHAN, “Kapan Korea Selatan jadi juara dunia?” dijawab 12 tahun lagi, Park Ji Sung pun menangis.. Drogba bertanya “kapan Pantai Gading jadi juara dunia?”, dijawab 24 tahun lagi, … Drogba pun menangis.. Bambang Pamungkas bertanya “kapan Indonesia jadi juara dunia?”, maka Tuhan pun menangis..
- Selamat untuk pendukung Spanyol, sepertinya hidup memang mengasyikkan jika selalu ada hal-hal baru, seperti munculnya juara baru kedelapan dalam sejarah Piala Dunia. Semoga Indonesia –yang sejatinya ada di peta emas Piala Dunia- dapat juga berpartisipasi lagi di pesta bola ini, tanpa harus membuat Tuhan menangis…
Kalau J0jo juga ikut nangis ya?? he he he he….
Peace