Kebangkitan semu film Indonesia?

Terhitung Januari hingga Juni ini hanya ada 2 film lokal yang jumlah penontonnya menembus angka 500 ribu.

Pocong Keliling, genrenya campuran: horor, komedi dan seks.

Minggu ini saya kembali mendapat undangan menyaksikan premiere alias pemutaran perdana film Indonesia. Memang, saat ini gairah dunia layar perak sedang tinggi-tingginya, rata-rata dalam sepekan diluncurkan dua judul film baru. Pekan lalu misalnya, saya menghadiri dua konferensi pers dan premeire film 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta serta Obama Anak Menteng. Pekan ini, saya hadir dalam peluncuran film Pocong Keliling –disingkat Poling, garapan Maxima Pictures yang peluncurannya digelar di FX, Senayan Jakarta. Adapun satu film lain yang rilis minggu ini yakni Istri Bo’ongan produksi Kanta Indah Film. Tapi, apakah banyaknya produksi film baru ini sudah menunjukkan bahwa film Indonesia telah menjadi tuan rumah di negeri sendiri?

Poling berkisah tentang kepanikan sebuah kompleks perumahan di tengah kampung akibat isu munculnya pocong yang tiap malam mengetuk pintu dari rumah ke rumah. Hal ini menimbulkan masalah pada berbagai pihak, seperti pengembang yang jengkel rumahnya tak laku-laku, dan kacaunya jadwal selingkuh dua tetangga. Ada juga pasangan baru di kompleks yang terus menerus gagal menikmati malam pertama karena takut didatangi pocong. Saat itulah sepasang reporter televisi dan juru kamera berjuang meliput berita dan mendapatkan gambar pocong secara live, karena itu satu-satunya cara agar mereka berdua tidak dipecat.

Seperti ditebak dari judulnya film, yang dibintangi Cathrine Wilson, Indah Kalalo dan Indra

Salah satu adegan "semi vulgar": pengantin baru terus-menerus gagal menikmati malam pertama karena didatangi pocong.

Birowo ini bergenre horor. Tapi bukan horor-horor banget sih. “Ibarat sepakbola, film ini skemanya 4-3-3, 4 horor, 3 seksi dan 3 komedi,” kata produser ”Poling” Ody Mulya Hidayat.

Bos sekaligus pendiri Maxima itu tampak tenang menghadapi pertanyaan wartawan yang menanyakan kegemarannya membuat film dengan kualitas cenderung tidak mencerdaskan. Alasannya, film seperti inilah yang digemari masyarakat. ”Kondisi riil pasar kita begitu, untuk bisa survive, kami harus memproduksi film-film seperti ini,” katanya.

Ody memaparkan, rata-rata film yang kini beredar hanya ditonton antara 300-600 ribu penonton. ”Saya juga pernah membuat film drama seperti Cinta Pertama dan The Butterfly, tapi realistis sajalah, penonton film horor lebih banyak. Tiket yang dibeli penontonlah yang menghidupi kami,” kata Ody. Poling merupakan film ke-21 produksi Maxima, atau ke-4 dalam tahun ini setelah Arisan Brondong, Tiran: mati di ranjang, dan Menculik Mayabi.

Seusai acara, saya berbincang dengan pembawa acara jumpa pers, Yan Widjaya. Di sela-sela memandu tanya-jawab, wartawan senior dan kritikus film yang biasa kami sapa ”Pak Yan” ini memaparkan fakta bahwa terhitung Januari hingga Juni ini hanya ada 2 film yang jumlah penontonnya mampu menembus angka 500 ribu. Salah satunya adalah Menculik Miyabi, yang sejak idenya diluncurkan sudah sarat kontraversi karena mengundang bom seks Jepang Maria Ozawa alias Miyabi datang ke tanah air. Saat berbincang berdua itulah, saya bertanya, ”Satu film apa lagi yang sukses ditonton lebih dari setengah juta orang?” Jawabnya adalah 18+ film remaja produksi Starvision Plus, yang heboh setidaknya karena dua scenes yakni adegan masturbasi Wulan Guritno serta ciuman antara Arumi Bachsin dan Samuel Zyglwyn.

Pak Yan selama ini saya kenal sebagai figur yang mengirim sms undangan pemberitahuan premiere film Indonesia kepada para wartawan. Sebagai seorang yang setiap hari mengupdate jumlah penonton film lokal, ia prihatin atas minimnya jumlah penonton film Indonesia. Satu-per satu ia sebut judul film Indonesia dengan jumlah penontonnya –sampai pekan lalu, tapi dengan embel-embel keras, ”Angkanya jangan di-published ya.” Berdasarkan update jumlah penonton yang disebutnya, film Tanah Air Beta, 3 Hati 2 Cinta dan Minggu Pagi di Victoria Park termasuk yang jeblok di pasaran.

”Sebenarnya tahun ini ada satu film berkualitas yang banyak ditonton orang, tapi masih di bawah setengah juta penonton, ya sekitar 400 ribulah,” kata Pak Yan. Film yang dimaksud adalah karya Deddy Mizwar, Alangkah Lucunya (Negeri Ini). Ia menyebut, tahun lalu ada lebih banyak film bermutu yang laris manis ditonton lebih dari 500 ribu orang, misalnya Perempuan Berkalung Surban, dan bahkan beberapa film bagus tiketnya terjual di atas sejuta karcis, yakni Sang Pemimpi dan Ketika Cinta Bertasbih.

Untuk diketahui, pangsa penonton film di Indonesia –baik menonton film Hollywood ataupun produksi lokal. sebenarnya ya orang itu-itu saja. ”Kalau sampai ada yang karcisnya terjual di atas sejuta, berarti ada banyak orang yang menonton lebih dari sekali,” kata seorang wartawan di sela-sela jumpa pers.

Affair antara Jamal (Indra Birowo) dan Barbara (Cathrine Wilson). pesan moralnya: ada real estate didirikan di atas lahan bekas kuburan kampung.

Sekilas Pak Yan menunjukkan isi pesan pendek dari telpon genggamnya. Seorang produser yang filmnya sedang tayang mengirim sms keluhan, ”Mengapa ya akhir pekan kemarin penonton sepi? Apa karena Brasil lawan Belanda dan Jerman melawan Argentina?” tanya sang produser menyinggung dua partai besar di perempatfinal Piala Dunia. Pak Yan tak kalah akal, ia membalas sms itu dengan kalimat, ”Mungkin pengaruh Piala Dunia ada benarnya, tapi bagaimana dengan Eclipse, IP Man, Karate Kid dan Chloe? Tiketnya sold out semua tuh…”

3 Replies to “Kebangkitan semu film Indonesia?”

  1. Hi Pit,

    Memang dalam mengukur sebuah film sukses tak harus dari jumlah penontonnya. Film-film Garin –sejak Cinta dalam Sepotong Roti, Daun di Atas Bantal, Angin Rumput Savana hingga Opera Jawa- tak punya penonton sebanyak filmnya Deddy Mizwar (Naga Bonar sampai Alangkah Lucunya Negeri Ini) atau dua film Miles yang merujuk novel Andrea Hirata (Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi –sebentar lagi disaingi Project Pop dengan film Laskar Pemimpi). Tapi, meski jumlah penontonnya tak spektakuler, film-film Garin ini sukses berat di aneka festival luar negeri.

    Tapi Pit, kalau sebuah film hanya sukses di festival, tapi di bioskop hanya dipajang tak lebih dua pekan karena jumlah bangku yang terisi tak pernah penuh, lalu dari mana produser film itu dapat untung yang duitnya bisa dipakai untuk memproduksi film-film bermutu selanjutnya?

  2. Aku rasa bukan salah penonton yg tdk mau dtg k bioskop unt membeli tiket. Tp lebih kpd kesadaran para pembuatnya kurasa. Dr sisi cerita sudah tdk jauh dr sinetron yg kita tonton d tivi. Lalu apa gunanya keluar uang klo tdk ada beda. Dg biaya produksi yg semakin kecil, mampukah para sineas itu membuat mutu yg standart ajalah, ga usah berlebih. Klo cm sekedar untung yg d maui para produser. Aku bisa mencetak untung di atas 0 penonton

Leave a Reply

Your email address will not be published.