Tak ada seorang manusia pun yang bercita-cita meninggal saat menjalankan pekerjaannya. Tapi di Indonesia, kematian menimpa jurnalis yang sedang bertugas seperti menjadi sebuah keniscayaan. Di antara nisan-nisan itu, ada nama Fuad Muhammad ‘Udin’ Syafruddin (Yogyakarta, 1996), Elyuddin Telembanua (Nias, 2005), Herliyanto (Probolinggo, 2006), Anak Agung Prabangsa (Bali, 2009), Ardhiansyah Matra’is (Merauke, 2010) dan Ridwan Salamun (Tual, 2010).
Berharap nama dan angka itu menjadi statistik belaka, Jum’at malam (27/8) di Mabes Polri Jakarta, puluhan jurnalis dan aktivis yang menamakan diri Komite Perlindungan Terhadap Jurnalis (Kompres) menggelar refleksi 7 hari meninggalnya Ridwan Salamun. Ridwan, 28 tahun, kontributor Sun TV (MNC Grup) wafat dengan luka bacok saat meliput bentrok antar warga di Kompleks Banda Eli dan Dusun Mangun, Desa Fiditan, Tual, Maluku Tenggara, 21 Agustus lalu. Ridwan berpulang, meninggalkan istri tercinta, Nurfi Saoda Toisuta dan anaknya yang masih berumur 3 tahun, M. Rizky Zaky.
“Minimnya perlindungan telah menunjukkan bahwa negara abai dalam memberikan hak atas rasa aman dalam kerja-kerja yang dilakukan pekerja Hak Asasi Manusia dalam menyampaikan pendapat dan kritiknya bagi kemajuan HAM dan sistem pemerintah,” kata koordinator aksi Iman D. Nugroho.
Selain menuntut agar polisi mengusut kematian jurnalis saat bertugas, aksi ini juga menyuarakan perlakukan buruk yang diterima para pekerja HAM, seperti penganiayaan aktivis ICW Tama Langkun, dan penangkapan aktivis Walhi di Bengkulu.
Aksi keprihatinan ini disertai dengan tabur bunga dan penyalaan lilin, berdoa bagi Ridwan Salamun dan keselamatan para jurnalis Indonesia. Selain itu tampil pula orator seperti Margiyono (Koordinator Divisi Advokasi AJI Indonesia), Hendrayana (Direktur LBH Pers), Haris Azhar (Kontras), Hendrik Sirait (PBHI), Choky (Forum Kontributor Televisi), Saor Simanjuntak (Ketua Departemen Advokasi IJTI) dan juga Taufik Kadafi Namakule, jurnalis Ambon Express yang juga sahabat dekat Ridwan Salamun.
“Dari begitu banyak kasus kekerasan dan pembunuhan terhadap jurnalis, hanya kasus Prabangsa yang telah diproses hukum tuntas. Dalam kematian Ridwan, polisi telah menangkap 13 orang, tapi kita tidak bisa memastikan proses hukum terhadap mereka, jika tidak terus mengawasi kasus ini,” kata Margiyono.
Megi, demikian panggilannya, juga mengingatkan agar masyarakat menuntut pengungkapan pembunuhan Udin yang terjadi 14 tahun lalu. “Karena kalau tahun depan usia kasus ini mencapai 15 tahun, maka akan dianggap daluwarsa,” kata Megi.
Setelah memberikan tanda-tangan dan pesan moral di sebuah kain rentang, peserta aksi membubarkan diri dan menyerahkan spanduk itu kepada Kaden Mabes Polri Kombes Pol. Sadino Budi Nugroho. “Kami serahkan harapan para jurnalis ini kepada polisi, dengan harapan kematian terhadap Ridwan Salamun dapat diusut tuntas, sebagaimana pelaku pembunuhan Prabangsa di Bali telah dihukum,” kata Eko ‘Item’ Maryadi dari AJI Indonesia.