Suatu siang di Istana Negara, berlangsung acara seremonial pelantikan pejabat. Di sela-sela kebosanan acara, Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring sibuk mengupdate akun twitternya. Menteri kelahiran Sumatera Barat ini memang gemar berpantun dan memberi siraman rohani secara virtual. Posisi berdiri tidak mengganggu habit Pak Menteri memencet-mencet telepon seluler. Sampai suatu saat, masuk sebuah tweet. Seorang wartawan yang juga meliput acara itu mengirim kicauan ke akunnya, @tifsembiring. “Kok nunduk terus, Pak.. Asyik twitteran ya?” Sontak Tifatul mendongak, mencari siapa gerangan wartawan yang iseng mengirim pesan itu.
Kali lain, saat nge-tweet di sela Upacara Kenegaraan 17 Agustus di Istana, Tifatul mengumumkan bahwa aktivitas berkicaunya tidak mengurangi kekhusukannya mengikuti upacara, “FYI: ngtweet; sbelum acr dimulai, tdk ada pidato prsiden, saat naikkan bendera sy hormat, upacara berdiri, wkt lagu2 aubade sy ngetweet lagi”
Tifatul hanya satu di antara banyak publik figur yang kini kecanduan berkicau melalui akun twitter. Nama-nama lain misalnya Menko Perekonomian @hattarajasa, Menteri Sosial @salimsegaf, Ketua Umum DPP Golkar @aburizalbakrie, Staf Khusus Presiden Bidang Hukum @dennyindrayana, serta Staf Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana @AndiAriefNew. Menjadi sebuah fenomena tersendiri saat para pejabat mengampanyekan kebijakannya melalui serial twitter –yang sekali “mencicit” terbatas maksimal 140 karakter itu.
Tifatul misalnya, menyuarakan pendapatnya dalam serial twitter tentang kronologis awal mula kasus HKBP Bekasi. Juga saat ramai-ramai ditangkapnya petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan oleh Polis Diraja Malaysia dan aksi blokir situs pornografi yang dilakukan Kominfo. Sementara itu, juga lewat akun twitternya, Menteri Perekonomian Hatta Rajasa giat bersosialisasi tentang pembatasan BBM bersubsidi bagi mobil keluaran tahun 2005 ke atas.
Nah, bagaimana dengan ranah jurnalisme? Apakah etis seorang jurnalis langsung mengutip pernyataan pejabat yang berkicau di timeline twitternya, tanpa konfirmasi ulang secara privat lewat sms, telepon atau bertemu langsung? Apakah pernyataan pejabat lewat akun twitter itu bisa dianggap sebagai official statement sebagaimana sebuah konferensi pers atau doorstop interview?
”Saya rasa sah-sah saja tweet pejabat diquote. Ingat kasusnya juru bicara Gedung Putih saat mengumumkan penundaan kedatangan Obama ke Indonesia,” kata Ariemega, jurnalis Seven Network Australia yang sangat aktif di dunia sosial media. Jawaban senada datang dari Andi Arief. “Prinsipnya oke-oke saja, hanya keterbatasan 140 kata itu kadang penjelasan terbatas,” kata mantan aktivis mahasiswa Yogyakarta itu –melalui tweet nya.
Pilihan untuk tidak berpendapat datang dari Hatta Rajasa. Ia menjawab pertanyaan saya lewat tweet nya, ”Lebih baik anda cek dengan Dewan Pers, AJI, dan PWI. Mereka lebih kompeten untuk menjawab pertanyaan anda,” kicau politisi yang baru-baru ini membagi satu unit iPad dan dua unit BlackBerry lewat lomba foto ”Lebaran Unik” bagi pengikutnya di Facebook dan Twitter itu.
Pengamat media Ignatius Haryanto mengingatkan, sebagai sebuah media komunikasi, twitter memiliki keterbatasan tersendiri. ”Apa yang bisa disampaikan dengan hanya 140 karakter?” katanya. Menurut Hariyanto, twitter juga tidak bisa dijadikan bagian dari percakapan antara narasumber dengan wartawan, karena sifat twitter yang terbuka untuk publik secara luas. ”Artinya percakapan narasumber dengan wartawan haruslah merupakan suatu kejelasan bahwa narasumber A sedang bicara dengan dengan wartawan X. Saluran yang memungkinkan untuk adanya percakapan berdua semacam ini bisa dianggap wawancara,” kata Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) itu.
Hariyanto mengingatkan, ungkapan-ungkapan yang muncul dari situs pergaulan sosial macam Facebook dan Twitter tak bisa menjadi representasi resmi (atau hal yang ingin dipublikasikan) oleh seseorang. Ungkapan di situ bisa sesuai dengan pernyataan resmi seseorang, bisa juga tidak. ”Jadi ini tidak bisa jadi bagian dari proses jurnalistik, karena sifatnya terbatas pada ungkapan personal,” papar salah seorang anggota tim ombudsman Kompas itu.
Hariyanto menegaskan agar jurnalis juga mesti meneliti betul, apakah akun Facebook atau Twitter milik pejabat publik yang dikutipnya benar-benar asli. ”Apakah tidak mungkin jika orang lain menggunakan nama tersebut untuk kepentingan lain? Jikapun pengelolanya adalah juru bicara atau humas dari seseorang, tetap hal ini tak bisa jadi representasi resmi nama tersebut,” urai mantan wartawan Forum Keadilan ini
Hariyanto punya alasan khusus mengapa ia tak punya akun di Twitter: ruang yang terbatas membuatnya kurang nyaman. ”Potongan-potongan yang kelihatannya banyak, tak selalu menghasilkan konkruensi dalam pemikiran ataupun ekspresi lainnya,” ungkapnya.
Selain itu, Hariyanto mengaku terganggu dengan istilah dalam twitter yakni menyebut “follower”, yang artinya mereka yang terkoneksi dengan seorang pemilik akun. ”Mungkin ada yang bangga punya ribuan follower, belasan hingga ratusan ribu, tapi saya merasa tidak sedang mencari pengikut, dan tak mau harus mengikuti seseorang,” katanya.
Jojo Raharjo
mendengar pidato, -hanya mendengar, tanpa wawancara, juga bisa jadi berita kan? apa bedanya dengan membaca tweet yang dipamerkan ke khalayak?