Sabang, Masih Ada Asa Tersisa

Tulisan ini pernah dimuat di Rubrik Perjalanan Koran Tempo Minggu, 20 Februari 2005

Keindahan pantai Pulau Weh masih mempesona.

Monumen kilometer nol batas paling barat Indonesia. Kapan ya bisa ke batas paling timur Indonesia?

Gempa dahsyat 8,9 skala Richter diikuti gelombang tsunami yang meluluhlantakkan wilayah pantai barat Aceh akhir tahun lalu sempat membuat putus arus transportasi dan komunikasi Banda Aceh dengan dunia sekitar. Termasuk dengan Pulau Weh, pulau paling barat di peta Indonesia. Nusa dengan 24 ribu penduduk yang masuk dalam wilayah kota Sabang ini jadi tak jelas kabarnya.

Ketika sebagian besar kota Banda Aceh yang berada di sudut pantai barat Samudra Indonesia hancur lebur, orang pun berpikir, Pulau Weh yang bak noktah kecil di pusaran air besar pasti sudah tamat riwayatnya. Terbayang pula, lagu nasional Dari Sabang Sampai Merauke karya R. Surarjo bakal direvisi liriknya.

Ternyata tidak. Sabang dan segala keindahan pantai Pulau Weh masih mempesona. Meski sedikitnya 20 nyawa penduduk pinggiran Sabang menjadi keganasan korban tsunami, jiwa-jiwa lain dapat diselamatkan karena tradisi kental masyarakat yang cerdik mengamati gejala alam.

Tak ubahnya penduduk Pulau Simeulue, rakyat Sabang paham betul, datangnya gempa bumi yang menyebabkan laut kering tiba-tiba bakal diikuti luapan gelombang dalam skala besar. Mereka pun berbondong-bondong naik ke perbukitan sehingga banyak jiwa terselamatkan.

Melewati reruntuhan utara Aceh Besar, beberapa waktu lalu Tempo mengunjungi Pulau Weh. Pagi itu, sebulan pascabencana dahsyat, Pelabuhan Malahayati di kawasan Krueng Raya masih terlelap berkalang puing-puing bangunan korban amarah tsunami.

Depo Pertamina pun menyisakan lima kilang besar yang remuk, sebagian di antaranya bahkan bergeser belasan meter dari tempat asalnya. Kehidupan Dermaga Malahayati pagi itu hanya dijaga sekompi tentara Bukit Barisan yang menjaga lalu lintas pelabuhan. Tak padat memang, kecuali sebuah kapal pengangkut bantuan kemanusiaan terparkir di situ.

Menunggu tiga jam, akhirnya pada pukul 11.00, merapatlah KMP Cucut. Setiap hari sekali pulang-pergi, feri asal Jakarta inilah satu-satunya jembatan antara Pulau Weh dan Sumatera.

Sebelumnya, rute sejauh 16 mil itu dilayari dua kapal saban pagi dan sore, ditambah sebuah kapal cepat pada hari-hari tertentu. Kini jam kerja Cucut diawali pada pukul 8 pagi dari Pelabuhan Balohan, Sabang, dan balik pukul 3 sore dari Pelabuhan Malahayati kembali ke pulau legenda yang di buku-buku tua berjuluk Golden Island itu.

Yang membedakan, setelah bencana, Cucut menyeberangkan sekitar 400 penumpang setiap harinya tanpa biaya. “Kami tak tahu sampai kapan kebijakan pelayaran gratis ini diberlakukan. Bisa jadi masih berlanjut bulan-bulan ke depan,” kata Udin, petugas angkutan sungai, danau, dan penyeberangan (ASDP) di kapal berkecepatan 7 knot itu.

Berseragam biru muda, ia membebaskan penumpang dari tarif feri. Namun, mereka yang membawa kendaraan tetap dipungut ongkos, Rp 10 ribu untuk motor dan Rp 90 ribu untuk mobil.

Setelah tiga jam menyeberangi Selat Malaka dengan gelombang besar yang membuat perut terkocok-kocok, pelabuhan bebas Sabang di Balohan mengucapkan selamat datang.  Sebuah monumen tenggelamnya KM Gurita pada 19 Januari 1996 mengisyaratkan ganasnya selat itu. Kapal berbobot mati 146 ton, dengan panjang 31,1 meter dan lebar 7,82 meter itu karam dan menewaskan 188 orang penumpang.

Itulah untuk pertama kalinya penduduk Aceh terserang trauma tak mau makan ikan laut. Sebuah ketakutan yang terulang delapan tahun kemudian, karena menganggap air laut tsunami telah memakan para kerabat mereka.

“Wow, this is a real paradise,” teriak Jean-Baptiste Debard, 23 tahun, mahasiswa asal Prancis yang tergabung dalam rombongan yang bertualang tiga hari itu.

Daratan Sabang dengan dua kecamatannya, Sukajaya dan Sukakarya, memang indah. Juga ramah. Restoran masakan Cina dan berbagai penginapan sederhana di tengah kota, 15 km dari Pelabuhan Balohan, sedia melepas kepenatan wisatawan.

Namun, pilihan terbaik tentulah menginap di kawasan pantai. Aneka cottage di kawasan wisata Gapang, pantai Iboih, yang dibangun Pemerintah Kota Sabang menawarkan kenyamanan yang jauh lebih nikmat dibanding tarifnya yang hanya Rp 50-100 ribu per rumah dengan sebuah kamar.

“Kami sedang suntuk, efek tsunami membuat sepi turis,” keluh Muhamad Nuriman, 30 tahun. Pria yang meminta dipanggil Danu itu berpenampilan layaknya anak pantai. Bertelanjang dada, berkalung akar pohon, dengan rambut menjuntai hingga bahu. “Penampilannya mirip Iwan Fals,” kata Rieska, petualang asal Bandung yang bersama menyambangi Sabang awal minggu itu.

Kepedihan juga menjadi milik Tom. Pria yang tinggal bersama Nancy, istrinya, yang aslinya warga negara Belanda. Sembilan tahun sudah mereka menetap di Sabang, menjalankan bisnis pariwisata keindahan menyelam. “Usaha kami praktis terhenti setelah bencana itu,” tuturnya.

Ganasnya tsunami tak hanya merusak rumah-rumah di pinggir pantai Sabang dan memakan korban jiwa 20 penduduk Pulau Weh. “Kami menemukan banyak mayat dari luar terkirim ke pantai. Dua di antaranya penduduk Thailand,” kata Danu.

Sabang memang tak harus terus menebar sedih. Sebagai wisata andalan Nanggroe Aceh Darussalam, pulau yang terkenal dengan wisata selam dan terumbu karangnya itu pun masih menyisakan kenikmatan pelabuhan bebas.

Pagi hari di depan warung kopi, sebuah Toyota Corona GLi buatan 1996 warna perak terparkir angkuh. Nomor polisinya masih baru, berwarna putih mengkilat. Menurut Iwan, operator sedan mulus itu, “Pemiliknya teman saya. Ia membelinya tahun lalu. Tak lebih dari Rp 25 juta.”

Cukuplah menambah Rp 7 juta, mobil impor asal Singapura itu pun memiliki nyawa alias STNK dari Polresta Sabang. Tentu saja, sebagai pulau dengan tonggak tertancapnya wilayah pucuk barat Nusantara, datang ke Sabang tanpa menginjak titik Kilometer Nol ibarat mengunjungi Jakarta tanpa menyentuh pucuk Monas. Pagi itu, perjalanan dimulai dari tanda waktu 10.45 Waktu Indonesia Bagian (paling) Barat.

“Hallo, friend, apa kabar, friend…,” sapa pemuda yang menikmati hari di pintu keluar kawasan wisata Gapang, menyapa langkah kaki kami menuju ujung barat negeri ini. Nyamannya udara laut dan rerimbunan pohon membuat rasa malas anak muda Gapang terpelihara di tengah hari.

Tapak-tapak awal menuju Kilometer Nol dipenuhi pemandangan rumah-rumah panggung khas Sabang, dengan tinggi pintu tak sampai semeter dari permukaan tanah.Seratus langkah kemudian, tampak sebuah rumah panggung hancur berantakan, membunyikan kenangan korban bencana. “Itu rumah mantan Kepala Polresta Banda Aceh AKBP Murhaban. Beliau memang berasal dari Sabang,” kisah Jalil, 53 tahun, penunggu rumah itu yang kini terpaksa mengungsi.

Selang 3 kilometer, kami dikagetkan dengan tanda asterisk (*) yang dicat besar di dua batang pohon. Wah, wah… jangan-jangan, ini petunjuk tanaman, pikir kami. Tak ada waktu menyelidik lebih lama.

Perjalanan menuju ujung bumi pertiwi harus kembali dilanjutkan. Hutan bakau di kanan jalan bercampur dengan reruntuhan rumah yang tersapu tsunami. “Seperti baru kemarin saja bencana itu,” itulah kesan yang timbul.

Masuk kilometer 7,700, sebuah mobil PLN bersandar di tepi jalan. Dua teknisi bekerja keras memulihkan padamnya listrik. “Bukan karena tsunami, tapi karena angin kencang yang semalam menerpa,” kata seorang di antara mereka.

Seratus meter kemudian, kami mampir di sebuah rumah nomor 9 di lingkungan Ling Lhoet, Kelurahan Iboih. Pemandangan alami seorang nenek tua yang tekun menjahit sebuah kain berwarna merah menarik perhatian kami untuk menepi. Di dalam ruang tamu terpasang pigura kaligrafi, berdampingan dengan kalender bergambar capres Wiranto.

Radio biru bertenaga listrik menjadi hiburan di ruang keluarga. Dua tandan pisang tergeletak di atas tangga rumah panggung setinggi 150 cm dari tanah itu, mendampingi rindangnya pohon asoka di pelataran. “Menjahit untuk alas tidur,” kata Nenek Sapiyah yang mengaku sudah melewati 70 tahun umur kehidupan di bumi ini.

Berjalan lagi satu kilometer, kami sampai di kantor Kelurahan Iboih, Kecamatan Sukakarya. Seperti juga nama-nama petunjuk jalan lainnya, papan nama kantor kelurahan itu ditulis dalam dwibahasa: huruf Latin berbahasa Indonesia dan huruf Arab.

Dalam kepedihan, para pengungsi tetap bisa berbagi hati. Dengan suka hati, seorang pemuda memanjat pohon kelapa, lalu mempersilakan kami menikmati lima butir kelapa muda sebagai bekal melanjutkan perjalanan.

Pada perjalanan sekembali dari Monumen Kilometer Nol di petang harinya, keramahan para pengungsi itu makin menjadi.

Sabang memang tanah emas yang indah. Tak hanya kaya keindahan alam dan bangunan bersejarah, tapi juga welas asih penduduknya.

Box

Sabang, Saksi Keindahan Ujung Barat

Lima kilometer menjelang Kilometer Nol, sampailah kami di Pos Penjagaan Paskhas. Setiap pengunjung wajib melaporkan identitas di jalan setapak yang ditutup palang itu.  Siang itu, giliran Pratu Puji dan Pratu Kukuh, dua prajurit Paskhas asal Lanud Iswahyudi, Madiun, yang bertugas jaga. Sebuah papan merah dalam warna kuning terang terpasang di depan pos. Tulisannya keras menyapa, “Are You Ready?”

“Seminggu setelah bencana, jalan menuju Kilometer Nol ini ditutup. Siapa pun tak boleh naik, untuk antisipasi kalau-kalau ada bencana susulan,” kenang Puji, sambil tak pernah lepas dari senapan laras panjang SS-1 di dekapannya.

Saat itu, ia mengaku mengusir seorang pegawai kantor Perpajakan dari Jakarta yang mencoba nekat menuju Kilometer Nol dengan mencarter ojek motor. “Nanti kalau ada apa-apa, kami yang akan digantung,” katanya menjelaskan tindakan tegas itu.

Seharian berjaga dari pagi hingga petang tak dimungkiri membuat prajurit itu terjerat rasa jenuh. Coretan spidol di veldbed pun menjadi pelampiasan. “Cah Solo Hadinigrat”, “Tuban Tulen”, begitu antara lain kata-kata yang mereka tuliskan.

Sebuah komik Doraemon teronggok di rerumputan. “Kami menemukan komik itu dari laut, bersamaan dengan datangnya empat lemari es korban tsunami,” kisah Puji, pria asal Rengel, Tuban, itu.

Semakin mendekati Kilometer Nol, pemandangan semakin indah karena kami mulai memasuki Kawasan Taman Wisata, yang lokasinya ditetapkan berdasarkan SK Menteri Pertanian pada 7 Februari 1982. Rerimbunan pohon ara (Ficus sp) mendominasi taman seluas 1.300 hektare itu.

Akhirnya, pukul 14.58, sampai juga kami di monumen bersejarah itu. Tugu Kilometer Nol Indonesia dibangun di Sabang menurut penetapan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dengan menerapkan Satellite Global Positioning System (GPS).

Prasastinya bertanggal 24 September 1997 ditandatangani Menteri Negara Riset dan Teknologi/Ketua BPPT saat itu, Prof Dr Ing B.J. Habibie. Posisi geografis Kilometer Nol Indonesia di Sabang terletak di lintang 05º 54′ 21.42 LU dengan posisi bujur 95º13’00.50 BT dan tinggi 43,6 meter (MSL). Posisi geografisnya terletak dalam Ellipsoid W6584.

Di sisi monumen itu terdapat juga sebuah rumah adat sebagai tempat istirahat pengunjung, dan dua tempat istirahat. Papan woro-woro berwarna cokelat pun terpajang menyapa, “Anda telah tiba di Km 0 Indonesia.”

Untuk memperoleh sertifikat sebagai bukti kenang-kenangan Anda telah tiba di wilayah paling barat NKRI dan tercatat sebagai pengunjung Km 0 Indonesia, hubungi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Sabang, Jalan T.P. Polem 0652-21513.”

Secara resmi, Monumen Kilometer Nol diresmikan oleh Wapres Try Sutrisno pada 9 September 1997, yang pembangunannya merupakan kerja sama antara Pemda DI Aceh dan Deputi Bidang Pengembangan Kekayaan Alam BPPT.

Monumen Kilometer Nol terletak di pucuk tertinggi perbukitan, dengan hamparan laut terbentang di seberang. Sesekali deru lalu-lalang helikopter Chinook milik tentara Singapura ataupun Seahawk Amerika Serikat melintas, ditambah monyet-monyet hutan yang berloncatan dari pohon ke jalanan senyap itu.

Seekor ular hijau yang melingkar di antara bebatuan mengagetkan kami, menegaskan area Kilometer Nol benar-benar lokasi wisata alami.

Tegaknya Monumen Kilometer Nol sebulan setelah bencana dahsyat yang mencengangkan dunia, seperti menyatakan, “Jangan lupakan, Sabang masih ada.” Dunia pun menjadi tahu, pascatsunami, ujung barat Indonesia masih tegak berdiri.

***

6 Replies to “Sabang, Masih Ada Asa Tersisa”

  1. Awsome article and right to the point. I am not sure if this is really the best place to ask but do you guys have any thoughts on where to hire some professional writers? Thank you 🙂

  2. If you dont mind, exactly where do you host your website? I am hunting for a good host and your weblog seams to be quick and up most the time

Leave a Reply

Your email address will not be published.