Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menyesalkan pelarangan penayangan program investigasi “Sigi” berjudul “Bisnis Seks di Balik Jeruji Penjara” yang disiapkan Redaksi Liputan 6 SCTV untuk ditayangkan pada Rabu (13/10) pukul 23.00 WIB . Program itu gagal tayang menyusul intervensi dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang dipimpin politikus Partai Amanat Nasional, Patrialis Akbar, dan manajemen SCTV yang dipimpin Fofo Suriaatmadja.
“Tindakan ini merupakan pelanggaran berat dalam kode etik jurnalistik karena intervensi pemerintah dan pemilik modal telah menodai kesucian ruang redaksi,” kata Koordinator Divisi Advokasi AJI Jakarta, Aditya Heru Wardhana.
Tayangan Sigi ini sebenarnya sudah dipersiapkan sejak lama. Para jurnalis SCTV sudah melakukan investigasi dan mengumpulkan bukti adanya bisnis prostitusi di dalam penjara, dengan kamera tersembunyi. Sayangnya, pihak Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia selalu menolak untuk diwawancarai dalam program ini. “Mereka meminta agar diperbolehkan melihat dulu tayangan video yang sudah kami dapatkan. Permintaan mereka ini tentu saja kami tolak,” kata sumber di internal redaksi SCTV yang dihubungi AJI Jakarta. Permintaan itu dipahami redaksi SCTV sebagai upaya sensor.
Karena upaya memperoleh konfirmasi sudah maksimal, redaksi SCTV memutuskan untuk tetap menayangkan program ini pada Rabu kemarin. Sampai saat-saat terakhir, Kementerian Hukum dan HAM masih terus berusaha menunda penayangan program itu. Permintaan penundaan ini pun ditolak redaksi. Namun, redaksi SCTV akhirnya bertekuk lutut setelah pemilik stasiun televisi itu sendiri yang turun tangan. Manajemen televisi itu meminta redaksi Liputan 6 SCTV membatalkan penayangan program Sigi.
Meski sudah dihubungi, pihak Kementerian Hukum dan HAM tidak memberikan komentar atas laporan adanya insiden ini. AJI Jakarta menilai peristiwa ini adalah bentuk intervensi yang amat kasar dari pemilik modal ke dalam ruang redaksi.
Ketua AJI Jakarta Wahyu Dhyatmika menegaskan, AJI Jakarta mengecam keras tindakan Kementerian Hukum dan HAM yang berusaha menghalangi upaya redaksi SCTV menyiarkan informasi yang mengandung kepentingan publik sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagai jurnalis. Tindakan ini melanggar pasal 4 (ayat 2) UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, yang berbunyi “Terhadap Pers Nasional tidak dikenakan penyensoran, pembreidelan atau pelarangan penyiaran.”
”Kami juga mengecam dan menyesalkan tindakan manajemen SCTV yang tunduk dan menyerah pada desakan pembreidelan siaran yang disampaikan oleh pejabat Kementerian Hukum dan HAM. AJI Jakarta meminta redaksi SCTV untuk tetap kukuh dan teguh dalam mengelola ruang redaksinya sesuai prinsip-prinsip etika dan standar jurnalistik yang berlaku,” kata Wahyu.
Kecaman atas pelarangan penayangan Sigi SCTV oleh pihak di luar redaksi juga datang dari Direktur LBH Pers Hendrayana. Hendra menyatakan, LBH Pers menyesalkan tindakan Kemenhukham yang telah melakukan intervensi terhadap ruang redaksi karena Tindakan tersebut merupakan bentuk pembredelan terhadap pers. ”Kami juga akan mengadukan ke KPI dan Dewan Pers karena tindakan tersebut telah merugikan hak masyarakat untuk memperoleh informasi,” kata Hendra. Sesuai pasal 18 (ayat 1) UU Pers, tindakan pelarangan siaran ini adalah tindak pidana yang diancam hukuman penjara paling lama dua tahun atau denda Rp 500 juta.