Jum’at, 15 Oktober 2010 tercatat sebagai perjalanan kedua saya menghantamkan kaki di Pulau Batam. Yang pertama akhir 2008, saat menyambangi koresponden CVC di kota berpenduduk sejuta jiwa itu. Hari ini, jejak sepatu kets saya kembali tertera di bandar udara Hang Nadim, meski hanya numpang lewat. Berbeda dengan dua tahun silam yang sempat main-main ke Nagoya -pusat kota Batam- kali ini saya hanya mampir bandara, untuk melanjutkan perjalanan ke pelabuhan penyeberangan Telaga Punggur.
Tapi, meski cuma numpang lewat, Batam tetap menyajikan pesona tersendiri. Menjadi beda pula karena kali ini pesawat datang dari arah Jakarta. Dua tahun lalu, saat terbang dari Polonia, perasaan saya tidak menyaksikan gugusan pulau-pulau Kepulauan Riau sejelas tadi.
Yap, Kepri alias Kepulauan Riau memang provinsi unik. Provinsi ke-32 Indonesia ini resmi berpisah dari induknya –Riau- delapan tahun silam lewat Undang-undang Nomor 25 tahun 2002.
Memang, provinsi ini hanya punya 4 kabupaten (Bintan, Karimun, Natuna, dan Lingga) serta 2 kota (Batam dan Tanjung Pinang), tapi jangan salah, jumlah pulaunya ada 2.408, dengan sepertiga di antaranya belum diberi nama dan belum berpenghun!
Perbedaan lain, karena saya datang pada 2010. Tahun yang ditetapkan sebagai “Visit Batam Year”. Tapi, ada apa memangnya? “Ah, kutengok tak ada perubahan di Batam, meski di mana-mana slogan itu terpasang,” kata Munthe, sopir taxi yang saya tumpangi dari Hang Nadim ke Telaga Punggur.
Bapak tiga anak ini menyesalkan kurang seriusnya pemerintah menggarap potensi Batam. “Sebenarnya pantainya di sini indah juga,” kata pria asal Toba berumur 56 tahun itu.
Akhirnya, Batam –yang sinar mataharinya tak kalah garang dengan Surabaya dan Jakarta ini- lebih dikenal sebagai pulau industri. Dampak ekonominya memang positif saja, seperti dicita-citakan Ketua Otorita Batam pertama, BJ Habibie. Asal saja iklim usaha itu tak terganggu kerusuhan, seperti terjadi April lalu. Saat itu, karyawan perusahaan galangan kapal PT Drydock di kawasanTanjung Uncang ngamuk, setelah Willendra, salah seorang pekerja berkebangsaan India, mengolok pekerja lokal dengan sebutan “All Indonesians are stupid” Sediktinya 25 mobil terbakar menyusul sakit hati dan solidaritas karyawan lokal. Dampak lain, kerusuhan ini membakar luka lama, kesenjangan pendapatan antara pekerja domestik dan legiun asing di Batam. Maklum, para pekerja asing rata-rata bergaji 1.500 dollar Singapura (setara Rp 9,8 juta) per bulan, sementara upah dasar pekerja lokal rata-rata Rp 1,1 juta per bulan.
“Ya, kalau memang orang Indonesia bodoh, jangan sampai diucapkan di depan banyak orang gitulah,” kata Munthe menyesalkan kerusuhan itu. Syukur, kerusuhan tak merembet ke area industry lain. Willendra sendiri mengalami luka parah dan sempat mengalami kondisi kritis akiat dikeroyok anak-buahnya.
Kini, Batam tengah tak bergejolak. Tapi, ayolah, lekas berbenah kalau mau segera menyusul tetangganya –negara pulau yang kerap diejek Habibie sebagai “the little red dot” itu. Kalau memang bertekad menjadi pulau transit internasional, mengapa saya tak bisa menemukan hot spot wifi area di bandara maupun pelabuhan ferry?
Visit Batam 2010 hanya menang di logo, tanpa strategi kampanye yang jelas. Wilayah strategis tak dilengkapi dengan udara berjejaring internet. Konflik sosial rawan meletus laksana api dalam sekam yang jika terbakar akan sulit dikendalikan. Taxi gelap berseliweran menghubung-hubungkan titik strategis. Ah, kalau Batam terus berkoar tanpa membenahi soal-soal itu, jangan salahkan kalau pulau inilah yang benar-benar menjadi titik merah nan kecil itu. Tidak hanya kecil, tapi amat sangat kecil….