Kecele. Tak ada kesan lain mewakili kata itu.
Hampir lima bulan tak menyambangi Bandung, malam ini saya berpikir keras tatkala menghabiskan malam di kota yang bulan lalu berhari jadi ke-200 ini. Inilah Parijs van Java, wilayah tetirah warga ibukota yang identik dengan perempuan manis, pusat mode, pepohonan, bandrek, dan warna biru ini. Apalagi ya yang similar dengan kota bertinggi 768 meter di atas permukaan laut dan dihuni 2,3 juta jiwa ini?
Persib. Itulah jawabannya. Bond sepakbola berlogo “Maung” –artinya harimau- ini tercatat sebagai jawara perdana Liga Indonesia, saat kompetisi gabungan perserikatan dan Galatama ini digelar pada 1994/1995. Saat itu, dalam final di Stadion Utama Senayan, Sutiono Lamso dan kanca-kancanya yang 100% rasa lokal, menumbangkan Petrokimia Putra Gresik, tim bertabur tiga pemain impor berkualitas asal benua Amerika: Jacksen Tiago, Carlos de Mello (Brasil) dan kiper Daryl Sinnerine (Trinidad & Tobago).
Persib menjadi salah satu tim yang mampu melahirkan fanatisme daerah begitu kuat. Mulai dari zaman Adjat Sudrajat, Robby dan Roy Darwis, Nyang-Nyang, hingga kini, generasi Erik Setiawan, Eka Ramdani, Nova Arianto, serta invasi pemain asing yang tak lagi tabu –macam Sinthaweechai “Kosin” Hathairattanakool, Satoshi Otomo,, Hilton Moreira, Pablo Frances, dan Cristian Gonzales. Yang terakhir ini orang aseli Uruguay yang baru berganti paspor Garuda, dan punya nama baru: Mustafa Habibi.
Kabar bahwa Persib kini punya kafé mengundang rasa penasaran besar. Tim bermagnet besar, di manapun mereka bermain. Tim dengan puluhan ribu bobotoh berlabel ‘Viking’ yang selalu memenuhi kandang macan, baik Stadion Siliwangi di tengah kota maupun Si Jalak Harupat nun di ujung Soreang. Tak ubahnya pencinta Liverpool, para pendukung setia ‘Maung’ tetap tak kehilangan cinta, meski di paruh pertama kompetisi prestasi kedua tim itu sama-sama bak penderita bengek yang susah bernafas.
Kubayangkan sebuah komunitas restoran yang hidup. Ada layar lebar yang memutar video pertandingan di masa jaya Persib, dengan sesekali para legenda hidup datang untuk mengukir nostalgia. Sobur, Samai Setiadi, Kekey Zakaria, Adeng Hudaya, Iwan Setiawan, Dadang Kurnia, Yusuf Bachtiar, Yudi Guntara, dan nama-nama jagoan perserikatan lainnya. Kubayangkan ada foto Djajang Nurjaman mengangkat Piala Presiden, usai sundulan kepalanya menjadi gol tunggal ke gawang Persebaya di medio 1980-an. Kubayangkan ada poster besar Persib musim ini, yang kembali memanfaatkan tukang racik dari Eropa Timur, mengulang sejarah saat ditukangi Arcan Iurie Anatolievic beberapa tahun silam. Kubayangkan kafe itu sahamnya dimiliki salah seorang pemain tajir, sebagaimana Jamie Carragher punya Cafe Sports England di salah satu sudut Liverpool.
Tapi semua bayangan itu nihil adanya. Kususur satu persatu bangunan di Jalan Sulanjana sampai nomer 17 tepat di hadapan. Persis di seberang Kantor Rektor ITB, salah satu ikon kebanggaan Bandung lainnya. Nama rumah makan itu memang tertulis ‘Persib café n’ lounge’, tapi nyaris tak ada suasana Persib di sini. Kecuali memang terletak satu gedung dengan kantor PT Persib Bandung Bermartabat (PBB), perusahaan profesional yang menjadi prototipe tim sepakbola Indonesia zounder APBD. Alih-alih gambar legenda bola tempo doeloe dan pahlawan lapangan hijau abad XXI, yang ada hanya lukisan-lukisan Kota Bandung zaman baheula.
“Yang punya kafe ini temannya Pak Umuh. Memang hanya kerjasama saja, numpang gedung sekretariat Persib,” kata Andri, seorang pramusaji. Umuh Muhtar dikenal sebagai pengusaha dan tuan tanah yang kini menjabat manajer tim Persib Bandung sekaligus Direktur PT Persib Bandung Bermartabat (PT PBB). Sayang, kafe ini belum memiliki nuansa seperti namanya, suasana sepakbola hanya ada pada bentuk sofanya yang bercorak si kulit bundar, dan pada beberapa menu buffet. Sayang, kafe ini belum memiliki nuansa seperti namanya, suasana sepakbola hanya ada pada bentuk sofanya yang bercorak si kulit bundar, dan pada beberapa menu buffet. Ada paket bobotoh, paket spirit, paket kampiun, viking spaghetti bolo-bolo, iga panggang bobotoh, dan sop buntut Maung Bandung. Sisanya, restoran ini banyak diisi gambar-gambar kota Bandung tempo dulu.
Suasana sepakbola hanya ada pada bentuk sofanya yang bercorak si kulit bundar. Selain itu, pada beberapa menu buffet, misalnya paket bobotoh, paket spirit, paket kampiun, serta .
Boim, seorang mahasiswa perantauan yang kostnya tak jauh dari kawasan Taman Sari menyayangkan sepi dan kurang menariknya kafe ini. “Terlalu besar branding Persib yang dibawa, tapi gagal menarik massa,” komentarnya.
Mungkin, sudah saatnya magnet besar sebuah simbol dengan nilai loyalitas tinggi dimanfaatkan dengan benar dalam ranah bisnis. Dalam hal ini Persib, tim berjuluk Pangeran Biru yang usianya menyentuh 77 tahun ini, mesti banyak belajar….