Tradisi ke makam saat hari raya, bagaimana memandangnya?
Baru-baru ini, salah satu grup di telepon pintar saya marak dengan diskusi bertema, “Apa sih perlunya pergi ke makam saat mudik?” Beberapa kawan berkomentar dengan menulis, tradisi berziarah ke makam leluhur tak terlalu signifikan, karena pada dasarnya toh roh dan jiwa mendiang orang yang kita kunjungi sudah tak di situ. Bagaimana opini Anda tentang itu?
Kalau saya, sederhana saja. Kita ke makam tidak untuk berkomunikasi dengan orangtua kita yang sudah wafat, tentu saja. Pun juga bukan untuk mengucapkan “Selamat Hari Raya”. Pergi ke makam lebih dimaknai sebagai penghormatan kepada beliau-beliau yang sudah menuju alam lain mendahului kita.
Di tepi pusara itulah kita berdoa, agar Gusti Allah memberikan jalan yang terang, mengampuni dosanya, dan ‘memberikan tempat terindah’ dalam masa penantian. Kalaupun ada ungkapan berbasa-basi seperti, “Pamit dulu, ya, Bu…” tak semata-mata untuk dipahami sebagai dialog dengan alam kubur. Sekali lagi, saya memaknai greeting seperti itu sebagai respek pada almarhum yang tempat persemayamannya kita kunjungi. Menghormati dengan mengingat jasa, kenangan, dan semua yang telah diperbuatnya pada kita.
Bagi seorang ayah seperti saya, berkunjung ke makam leluhur juga memiliki fungsi sebagai cara mengenalkan sejarah yang kuat. Bahwa Einzel, dan calon adiknya kelak, memiliki nenek yang tak pernah mereka jumpai. Mama, perempuan yang melahirkan saya, yang berpulang tepat saat saya melangsungkan pernikahan di Surabaya, Agustus 2006. Selain tentu Einzel tak akan lupa pada nenek, ibu dari isteri saya Celi, yang kembali ke Rumah Bapa Juni 2011 lalu.
Pelajaran historis mengenai kehidupan amat penting, karena dari situlah ia akan mengenang masa lalu, dan juga memandang masa depan –dunia di balik kematian- dengan ceria. Sebagaimana didoakannya setiap malam sebelum tidur, “Berilah Nenek tempat terindah di sorga…”
Point-nya, ke makam bukan melakukan sesuatu yang tercela karena berkomunikasi dengan arwah. Dengan mengunjungi makam leluhur, kita menghindari sebutan “kacang lupa kulitnya”. Dengan berkunjung ke makam, kita juga memandang lebih positif tentang dunia misteri di balik sana. Sekali lagi, bukan soal benar atau salah, tapi lebih pada bagaimana kita menghargai kehidupan.
Selamat Hari Raya, selamat berpesta di bumi, dan damai sejahteralah orang-orang dekat kita yang kini berada di tempat penantian…
Ya, sebenarnya di sebarang tempat kita bisa berdoa untuk orang tua. Namun berkunjung ke makam, saya setuju dengan pendapatmu, untuk menghormati. Saya setiap selesai shalat Jumat, berkunjung ke makam ayah. Bahkan setiap lewat, saya toleh dan memberikan salam. Kebetulan makamnya dekat jalan raya, jadi pasti terlihat.