Pelatihan Jurnalistik, Mendidik Suporter Lebih Cerdik

 Dalam era citizen journalism, setiap orang bisa jadi pembawa damai atau justru penyebar petaka.
Jurnalisme damai untuk supporter. Why not?

Pertengahan pekan lalu menjadi hari tak terlupa saat saya mendapat undangan menjadi pembicara “Pelatihan Jurnalistik Supporter Sepakbola” di Puncak, Bogor. Apa yang menarik dari acara ini? Baiklah, mungkin Anda pernah mendengar kisah pendukung Persebaya Surabaya –lazim disebut bonek alias bondo nekat– datang ke Jakarta menumpang kereta ekonomi demi pendukung tim idolanya “Green Force” berlaga ke Senayan. Itu cerita biasa. Tapi, bagaimana kalau supporter sepakbola dari beberapa klub datang dengan moda KA ekonomi nan sesak itu dengan tujuan mengikuti pelatihan jurnalistik di sekitar Jakarta? Saya kira ini baru berita.

Begitulah, hampir 30 orang supporter, perwakilan beberapa kelompok pendukung klub sepakbola sepakbola seperti Persebaya, PSIS, Persib, Persis Solo, Persijap Jepara, dan beberapa “delegasi lain” datang selama 3 hari 2 malam di sebuah penginapan di kawasan Puncak, Jawa Barat. Bukan untuk ber-tret-tret-tret mendukung tim kesayangan berlaga di partai puncak perhelatan kompetisi sepakbola, dan bukan pula untuk menumbangkan rezim otoriter mafia sepakbola Indonesia –seperti mereka lakukan awal tahun silam. Mereka datang untuk satu tujuan, belajar jurnalistik, dengan harapan mengubah kesan yang terlanjur melekat, bahwa supporter bola adalah pembuat rusuh. Dengan pelatihan jurnalistik, setidaknya para pendukung “garis keras” ini diharapkan lebih cerdik, terutama dalam era kian masifnya penggunaan teknologi media dalam jaringan serta sosial media. Satu celetukan mereka dalam twitter, status facebook, blog, website kelompok supporter maupun sarana lain, bak pedang bermata dua. Mampu mengobarkan perang atau menyiramkan air kesejukan.

Para pendukung sepakbola ini, orang-orang “hardliner” yang suka menyebut diri mereka sebagai ‘kelompok ultras’ alias pendukung berbekal nyawa, bisa membawa peran ganda. Sekali beraksi, mereka bisa mengibarkan bendera perang antar kelompok supporter, antar klub, antar kota, dan tak mustahil antar generasi. Namun, saat mereka mengambil inisiatif positif, hal-hal yang tak mungkin pun menjadi nyata. Pernahkah Anda membayangkan kelompok supporter lawan mengawal kedatangan “tamu”-nya dari batas kota, rest area, sampai masuk ke stadion, lalu keluar dari tapal kota lagi dengan selamat? Itu fakta, dan pernah terjadi saat kelompok supporter ini menunjukkan peran terpujinya sebagai pembawa damai.

Peace Journalism

Saya merasa, dalam saat seperti inilah teori jurnalisme damai menjadi relevan. Jurnalisme damai adalah praktek jurnalistik yang bersandar pada pertanyaan-pertanyaan kritis tentang manfaat aksi-aksi kekerasan dalam sebuah konflik dan tentang hikmah konflik itu sendiri, Lazim kita pahami, genre jurnalisme damai digagas Profesor Johan Galtung, ahli studi pembangunan, 1970-an, sebagai antitesa dari Jurnalisme Perang, yang hanya menekankan “menang-kalah”.

Membagi virus positif di tengah maraknya media sosial. Supporter bola, agen perdamaian.

Jurnalisme perang: tertarik pada angka tewas, konflik, kekerasan, dan kerusakan material. Jurnalisme perang memperjauh jarak pihak berkonflik, bukan mendekatkan dan mencari cara berdamai.

Sebaliknya, jurnalisme damai melihat perang/konflik sebagai sebuah masalah yang tak harus terjadi. “Peace journalism” lebih mementingkan empati kepada korban konflik daripada liputan yang kontinyu tentang perang/konflik itu sendiri. Genre jurnalisme damai juga konsisten memberi porsi sama kepada yang berkonflik, serta mengungkapkan ketidakbenaran di semua pihak, bahkan kalau perlu menyebut nama pelaku kejahatan (“evil doers”) dari kedua belah pihak.

Alih-alih menjadikan kekerasan sebagai komoditi, jurnalisme damai fokus memberitakan efek yang tak tampak (invisible effect of violence) seperti kerusakan sosial, kerusakan budaya moral, hancurnya masa depan dan trauma pihak berkonflik . Jurnalisme model ini  bukan semata pada produk fisik hasil konflik: rumah terbakar, potongan mayat, rumah ibadah hangus, wanita anak terlantar, namun lebih memberi tempat bagi suara korban (voice of the voiceless).

Indahnya kebersamaan. Supporter bola bukan penyebar petaka.

Saya merasakan langsung bagaimana dampak kekerasan dari mereka yang menyebut diri sebagai kelompok fanatik pendukung klub tertentu. Cerita di tautan ini masih membekas, kala (oknum) supporter The Jakmania memaksa saya bertelanjang dada di tempat tinggal saya sendiri, hanya karena saya memakai kaos “Bonek” yang notabene adalah rival utama mereka.

Sepakbola adalah hiburan. Dengan sepakbola –baik hasil di lapangan maupun suasana semarak di tepi lapangan- hidup kita akan menjadi bergairah dalam menjalankan tugas keseharian nan penuh problema. Karena itu, alangkah indahnya jika hingar-bingar supporter sepakbola kemudian menjadi inspirasi penambah semangat hidup, dan bukan menambah masalah baru yang membekas ke generasi-generasi berikutnya.  Mari sebarkan virus pembawa damai di dunia sepakbola Indonesia!

Leave a Reply

Your email address will not be published.