Catatan kenangan dua tahun silam, pelajaran-pelajaran moral dari negeri liberal.

Banyak kesan mendalam selama berpetualang mengikuti pelatihan multimedia 23 hari di Belanda, baik tentang segala proses kursus (acara dan materinya) maupun tentang Belanda sendiri.
Kisah unik tentang Belanda antara lain dari sisi humanis, betapa pemerintah Belanda menghargai hak asasi para pelacur dalam bekerja di sini. Pelacuran di De Wallen –kawasan lampu merah Amsterdam- menjadi kontradiktif karena pemerintah Belanda melarang keras adanya germo alias mucikari, yang di mana-mana selalu mendapatkan duit lebih banyak daripada pekerja seksnya sendiri. Hampir setiap jam polisi berkeliling gang-gang Red Light Districy untuk mencegah adanya praktek perantara maupun penganiayaan yang menyusahkan para pelacur. Selain itu, WTS di lampu merah memiliki jam kerja yang ketat, sehingga “kesehatan” dan “stamina” kerja mereka terjaga.
Moral story lain dari Belanda, yakni semakin maju sebuah negara, maka penduduknya memiliki kesadaran lebih untuk mengontrol jumlah kelahiran. “Saya kira negeri ini mampu menjalankan aturan-aturan secara well management antara lain karena memang under populated,” kata Sham, pemuda India yang bertukar pikiran saat duduk sederet dalam bis Eurolines menuju Paris. Karena jumlah penduduk sedikit, hanya 16 juta jiwa atau menduduki peringkat ke-61 negara berpenduduk terbanyak di dunia, maka tenaga kerja di Belanda pun begitu dihargai. Di sebuah gedung parkir misalnya, semua diurus melalui mesin alias meminimalkan tenaga manusia. Bandingkan di Jakarta, di sebuah gedung parkir berukuran sama bisa mempekerjakan empat orang: tukang pemberi karcis, tukang stempel cek STNK, dan dua orang pengawas alias pengatur keluar masuknya motor di laham parkir.
Usia kerja panjang

Akibat dari sedikitnya jumlah tenaga kerja di sini, maka pemerintah menetapkan 65 tahun sebagai usia pensiun, dan bahkan kini sedang dikaji undang-undang baru untuk menaikkan usia pensiun menjadi 67 tahun. Di Indonesia, begitu melewati usia 52 tahun, seorang pegawai dihimbau untuk mengambil pensiun dini.
Hikmah lain berada di Belanda, ya tentu mengagumi liberalisme negara ini. Negara paling gendheng untuk urusan kebebasan. Tapi, justru karena kebebasan dalam penggunaan ganja misalnya, di Eropa Belanda menduduki peringkat terendah dalam urusan penyalahgunaan serta ketergantungan terhadap narkotika dan sejenisnya. Logikanya sederhana, ketika semua dibebaskan dan berlimpah ruah, maka kecederungan untuk menjadi bosan amatlah besar.
Begitupula soal seks bebas dan semua fasilitasnya. Hari-hari awal kami begitu takjub melihat tayangan pornografi di siaran televisi dini hari yang begitu mengumbar aurat di banyak kanal. Sama mudahnya dengan mengakses konten porno nan vulgar di internet, karena memang Belanda menduduki posisi ke-8 sebagai negara dengan koneksi internet tercepat di dunia. Tapi, lama kelamaan, dalam suasana syahwat berlimpah aura, yang ada justru rasa bosan menyaksikannya.
Dalam semua pilihan selalu ada konsekuensinya. Mau jadi liberal, mau jadi konservatif, mau jadi religi, atau mau jadi setengah-setengah, semua terserah saja. Belanda telah banyak membuka mata kita tentang sebuah pilihan menjadi sebuah negara bebas, dengan semua untung ruginya.
Sampai jumpa, tot ziens, see you again Holland, Dankje wel, terimakasih untuk semua pelajarannya…
perjalanan yang mengesankan dan ditulis dengan gaya yang menyenangkan ;o)