Three weeks without rice? Noway.
Salah satu masalah besar saat kita berada jauh dari tempat asal adalah adaptasi dengan makanan. Bagi sebagian besar orang Indonesia, tidak bertemu dengan nasi sebagai menu makan utama termasuk problem utama itu. Di sini pun saya mengalalaminya. Hotel tempat menginap di Washington DC memang menyediakan sarapan pagi, tapi paketnya bernama American atau Continental Breakfast .
Kalau kita ingin American Breakfast, mbak-mbak waitress selalu melempar pertanyaan pilihan, “Bacon or Sosis?” Dalam piring itu terdapat kuning telur yang sudah dicacah, kentang, dan sekepal roti. Jika memilih bacon, maka lauknya daging asap, sementara opsi lain adalah dua batang sosis merah. Minumnya bisa teh atau kopi. Sementara itu, sarapan ala Continental bisa ambil sendiri, dengan fasilitas telur matang bulat, roti panggang, buah dan jus jeruk.
Adapun makan siang dan makan malam, harus beli sendiri. Biasanya sih, di tengah kesibukan kerja, orang Amerika mampir sejenak untuk mengisi perut siang hari di toko burger terdekat.
Karena tersiksa tanpa nasi itulah, beberapa cara saya lakukan untuk memanjakan perut. Caranya? Ya, harus ketemu nasi, hehehe… Minggu (4/3) usai bergereja petang di St. Stephen Martyr Catholic Church, saya menyusuri kawasan barat laut Pennsylvania Avenue. Berjalan lebih dari satu kilometer, hati ini bersorak saat bertemu Restoran Vietnam. Sendirian, saya nikmati dinner bertema pork fried rice di sana. Dengan harga menu paling murah, yang penting ketemu nasi. Tapi, saat keluar restoran, baru saya tahu pajaknya lumayan juga. Jadi, hampir 16 dolar keluar untuk sepiring nasi goreng!
Lain lagi cerita Selasa (6/3) malam. Usai nonton Super Tuesday di Virginia, malamnya kami mendapat undangan menyaksikan perhitungan live di National Press Club, semacam tempat nongkrong elit para wartawan di Washington DC. Saya bertanya pada tiga kawan seperjuangan sesama peserta IVLP, “Kira-kira dapat makan gratis gak ya di sana?” Alan Chen, jurnalis Taiwan itu menjawab, “Tak mungkin, Jo. Para wartawan itu orang yang sangat sibuk. Pasti tak ada acara makan gratis.” Ia tampak bingung saat saya menimpali, “Coba datang ke seminar, diskusi, launching, jumpa pers, atau acara apapun yang mengundang wartawan di Indonesia. Saya yakin kamu akan dapat makan gratis. Free lunch!” Jadilah, sebelum datang ke klabnya para jurnalis itu, kami mampir di foodcourt terdekat. Menu nasi campur mengharuskan saya menggesek kartu visa senilai 10 dolar 32 sen.
Yang penting mengandung nasi
Rabu (7/3) acara kami padat sekali. Diawali dengan berkunjung ke Centre for Strategic and International Studies (CSIS) berlanjut dengan jamuan makan siang yang diselenggarakan Kementerian Luar Negeri AS. Di antara tiga pilihan menu yang ada di meja, saya pilih salah satu, yang menulis unsur nasi. Betapapun asing judulnya: Curried Shrimp, dijelaskan sajian itu mengandung tomatoes, mushrooms, mélange of peppers and dirty rice. Mau udang kari, kek, dirty rice, kek, yang penting mengandung nasi.
Sore usai mengunjungi dua lembaga riset lain, acara berakhir jam 5 sore. Saya memutuskan berpisah dengan rombongan yang kembali ke hotel. Menggunakan kereta bawah tanah sendirian, saya pun menuju Voice of America (VOA), di kawasan Independence Avenue, pusat kota DC.
Ngobrol-ngobrol, kenalan dan ha-ha-hi-hi dengan kru siaran Indonesia, saya meninggalkan VOA bersama mas Helmi Johannes. Di sinilah saya mendapat kemewahan lagi: ditraktir nasi goreng berporsi besar di Pentagon City, mall terdekat dari VOA. Meski dibilang paling dekat, kami menuju kawasan itu dengan menggunakan kereta Metro bawah tanah. Lama perjalanan hanya 8 menit, tapi begitu keluar stasiun sudah berada di negara bagian lain, Virginia. “Memang kebanyakan kami tinggal di luar DC. Ya ibaratnya kerja di Jakarta, rumah di Bekasi, Tangerang, atau Depok,” kata beberapa broadcaster VOA.
Jadi, apakah sebelum membaca tulisan ini Anda sarapan atau makan siang dengan nasi? Satu pesan singkat saya: bersyukurlah.
Salam Kamis pagi dari kamar Hotel River Inn, Washington DC.