Washington DC: Bye-Bye, The Ekspensive City

Banyak kenangan tertinggal di ibukota negara. Entah, akankah kembali lagi…

Mampir ke kantor The Washington Post. Bertiras 500 ribu eksemplar, kini kembangkan layanan multimedia.

Dari Sabtu ke Sabtu. Itulah jadwal saya mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) 2012 di Washington DC. Di antara rangkaian destinasi selama tiga pekan, waktu 7 malam di ibukota memang yang paling panjang. Tak salah, karena di DC tersebar kantor pusat pemerintahan, partai, lembaga riset, dan surat kabar terpandang di Amerika Serikat. Selama di DC pula, kami dapat “bonus” mampir ke state tetangga, Virginia dan Maryland, termasuk nonton Super Tuesday nan bersejarah.

Banyak kenangan unik, lucu, tapi ada juga yang membuat muka masam. Riang, ketika saya berteriak-teriak di tengah jalan Pennsylvania Avenue menuju markas National Press Club.

“Washington, Washington, dreaming, dreaming!” seruku.

“Ada apa, Jo?” kata kawan-kawan.

Saya menjawab, “Sampai sekarang saya tak yakin, saya bisa ada di sini ini mimpi atau bukan.”

Alain Chen, kawan baik jurnalis Taiwan berujar balik, “Baiklah, kamu akan kupukul biar sadar….”

Kenangan asyik lain, tentu takjub melihat sistem tata kota yang ekselen, jadwal kereta komuter bawah tanah teratur dan rapi, serta budaya tepat waktu di mana-mana. Namun, yang membuat sakit perut adalah saat kami paham, kota berjuluk “The Capitol” ini termasuk salah satu kota dengan biaya termahal di dunia.

Saya juga serba salah. Saat makan siang atau makan malam bersama-sama, mau nggak ikut ntar dibilang tak kompak. Padahal, kami dapat jatah uang saku dalam jumlah yang sama. Tapi saat saya ikut, kok rasanya boros banget. Seperti saat makan malam di Dupont Circle, kawasan elit tempat di mana Kedutaan Besar RI berada juga, harus merogoh kocek hampir 30 dolar AS setiap orang!

Kreativitas orang miskin

Penjaja koran jalanan Street Sense. Keuntungannya untuk menghidupi para gelandangan.(foto dari www.streetsense.org)

Di tengah gemerlap kota besar, Washington DC juga punya problem sama dengan kapital-kapital lain: orang miskin, gelandangan, dan pengangguran. Cuma memang di sini mereka cari duitnya lebih tertib. Mengamen di pinggir tangga menuju lorong kereta bawah tanah, atau yang menarik saat mengetahui fenomena Street Sense.

Street Sense merupakan koran 16 halaman yang dibuat oleh para homeless, dijual senilai 1 dolar AS. Para gelandangan ini memakai rompi khusus, lalu berteriak-teriak menawarkan korannya kepada setiap pelintas jalan. “One dollar, two dollar….” Ungkap salah seorang penjaja yang saya jumpai usai keluar lorong Stasiun Federal Centre, saat dua kali menuju kantor Voice of America (VOA).

Awalnya saya kira mereka pengemis. Tapi kemudian, Alam Burhanan, jurnalis televisi VOA yang memandu keliling downtown DC, bercerita tentang fenomena Street Sense. “Uang yang mereka dapat disetorkan ke yayasan untuk dikelola menghidupi para fakir miskin itu,” kata Alam. Di kolom donasi yang ada di halaman koran dwi mingguan itu tertulis, selain membeli eceran, ada beberapa pilihan sumbangan. Misalnya 60$ yang sama dengan menyumbang makanan untuk pertemuan enam kelompok penulis, 100$ setara dengan menyumbang peralatan kantor selama sebulan, 500$ berarti membuat perubahan signifikan buat koran ini, 1.500$ berarti menyumbang biaya cetak empat edisi, dan 5.000$ yang bermakna “helps build significant organizational capacity”.

Dengan oplah sekitar  30 ribu eksemplar, setiap gelandangan penjual Street Sense (disebut sebagai vendor) membayar 0,35$ untuk setiap eksemplar, dan mereka bisa menjual seharga minimal 1 $ per korannya. Dalam kontrak untuk bisa menjadi penjual Street Sense pun amat ketat. Mereka tak boleh menjual dalam kondisi mabuk, serta melakukan persaingan sehat sesama vendor pengasong, misalnya jarak berjualan minimal satu blok.

Di antara “sisi kejam” kota mahal ini, kreativitas macam Street Sense layak jadi inspirasi.

Salam Sabtu pagi dari kamar Hotel River Inn, Washington DC.

Leave a Reply

Your email address will not be published.