Lengsernya Tuan Raja

Manajemen Liverpool akhirnya memberhentikan Kenny Dalglish sebagai manajer. Banyak yang menyayangkan keputusan ini.

In Kenny We Trust. Momen kenangan.

Stadion Nasional Kallang, Singapura, akhir Juli 2009. Usai Liverpool menghabisi perlawanan tuan rumah timnas Singapura, Noah Alam Shah dan kawan-kawan, dengan lima gol tanpa balas, saya menerobos turun ke dasar lapangan. Para pemain masih bersukaria usai pertandingan ujicoba yang disaksikan lebih dari 40 ribu penonton itu. Tampak juga, tak lebih lima meter dari hidung saya, Fernando Torres menandatangani aksesoris untuk penonton yang datang dengan kursi roda.

Saya terus menyelinap, mencoba lebih dekat ke arah bangku cadangan pemain Liverpool. Saat itulah, saya melihat seorang dengan setelan formal putih hitam berdiri termangu. King Kenny! Kenny Dalglish alias KD, legenda Liverpool yang berjaya baik sebagai pemain atau pelatih. Lelaki Skotlandia ini ikut ke Asia dalam jabatannya sebagai Duta Liverpool sekaligus mengurus pembinaan akademi pemain muda, jabatan yang diemban atas permintaan manajer Rafael ‘Rafa’ Benitez Maudes.

Tak menunggu lama, saya meminta Christian Gunawan, jurnalis tabloid Bola yang kok ya pas ada di samping saya, mengabadikan gambar berdua dengan KD. King Kenny bersedia. Dengan gaya coolnya, tersenyum, kalem. Chris menunjukkan hasil jepretan itu. Mungkin karena grogi, gambar itu tak sempurna, ada untaian tali kamera ikut terjepret. Saya mencoba mengetuk kebaikan hati Kenny kembali bersedia diambil satu jepretan lagi. Ia no problem. Gambar pun kembali diambil dengan kamera saku milik kantor saya, Radio CVC Australia. Kali ini hasilnya lebih baik.

Tapi, saya masih tak puas. Namanya juga wartawan radio, saya hidupkan alat perekam Ediroll R-1, memintanya berkomentar atas sambutan meriah pendukung Liverpool yang khusus datang dari berbagai negara Asia Tenggara demi menonton pertandingan ini. Tampak raut muka tak senang dari mimik KD, “No, no…” katanya sambil menggerak-gerakkan tangannya mengisyaratkan kata tidak. Pada detik yang sama, saya mendapat sumpah serapah dari bodyguard, pria-pria berkulit gelap bertubuh besar yang mengusir saya dari sisi lapangan. Dalam dunia profesional, wajar memang tidak semua orang bisa berbicara pada pers. Semua ada peran, aturan dan waktunya.

Beda karakter

Rafael Benitez, bakal kembali ke Liverpool setelah pergi 2010? Peluangnya kecil.

Bagi mereka yang paham sejarah Liverpool, nama Kenneth Mathieson Dalglish, 61 tahun, adalah legenda. Tak heran, banyak yang shock, kaget dan setengah tak percaya setelah duo owner John William Henry dan Tom Werner memutuskan tak mempertahankan Kenny. Apapun istilahnya, mundur, dipecat, diberhentikan atau dilepas, hasil pertemuan Kenny bos Femway Sports Group di Boston, AS mengakhiri spekulasi pasca buruknya prestasi Liverpool di Liga Inggris musim 2011/2012. Mengakhiri klasemen di posisi 8, setingkat di bawah klub sekota Everton, sebuah tragedi rivalitas Merseyside yang terakhir terjadi 7 tahun silam.

Terlepas dari tragedi musim ini, diringi kesialan penampilan Liverpool yang 33 kali shoot on target membentur tiang dan 5 kali penalti gagal masuk, Kenny tetaplah raja. Sebagai pemain The Reds ia menghaturkan 6 kali mahkota juara Divisi Satu (sebelum berubah nama jadi Liga Primer), 1 Piala FA, 4 Piala Liga, 7 gelar Charity Shield, 3 Piala Champions Eropa dan 1 Piala Super Eropa. Sementara sebagai manajer ia mempersembahkan 3 gelar juara Divisi Satu, 2 Piala FA, 1 Piala Liga dan 4 juara Charity Shield. Tak salah, saat orang Manchester merasa bangga Alex Ferguson dapat gelar ‘Sir’, pendukung Liverpool gagah berkoar We don’t need sir, when we have king.

Karakter setiap pelatih berbeda-beda. Rafa Benitez, meski kecil peluangnya tapi pria Spanyol ini difavoritkan kembali mengasuh Steven Gerrard dkk, membuat layar televisi kehilangan gairah karena gayanya yang sepi setiap tim asuhan Rafa mencetak gol. Dengan alasan menghormati klub lawan, paling banter langkah Rafa hanya melirik jam tangan, lalu meminta pemainnya mundur dan fokus menata permainan. Bersama Liverpool, Rafa mempersembahkan satu Piala FA, satu mahkota Liga Champions, satu juara Super Cup UEFA, dan satu gelar Community Shield.

Beda dengan Rafa, polah Kenny yang berjingkrak-jingkrak layaknya anak kecil menyaksikan pemain Liverpool bikin gol memang membuat siaran bola lebih hidup. Tapi tetap saja ada yang kurang pada pemilik gelar Member of the Most Excellent Order of the British Empire alias MBE ini. Kenny dinilai terlalu anteng, dan terkesan percaya begitu saja menyerahkan alur permainan kepada para bidak-bidaknya. Berjaket hitam di sisi lapangan, Kenny sering hanya berdiri bersedekap menyilangkan tangan di dada sambil menonton laga. Setidaknya, banyak yang berharap pelatih lebih aktif berteriak, macam Phil Thompson sang pembantu Gerard Houllier atau Sammy Lee saat menjadi asisten Rafa.

Untuk urusan media sosial, Kenny nyemplung di dunia twitter sejak 11 November 2010. Terhitung pasif, karena hingga 17 Mei 2012 akun @kennethdalglish hanya melempar 148 kicauan kepada lebih dari 407 ribu pengikutnya. Menarik pula karena yang mengkonfirmasi berita bahwa Kenny tak lagi jadi arsitek Liverpool justru akun twitter isterinya @marinadalglish, pada 16 Mei malam: “Really sad day for us a family but we all remain LFC fans. All so proud of Kenny.”

Selamat lengser, King Kenny, however, Anda tetap raja bagi para Liverpudlian…

 


0 Replies to “Lengsernya Tuan Raja”

Leave a Reply

Your email address will not be published.