Siapa yang berteriak paling kencang mendukungmu, bisa jadi dia yang akan berteriak lebih kencang menentangmu.
Rumor bahwa pemilihan kepala daerah DKI Jakarta putaran kedua pada 20 September lalu akan penuh intrik dan aneka teknik kecurangan yang menguntungkan inkamben, terbukti tidak terbukti. Berbagai informasi gelap yang menyatakan tim Fauzi Bowo akan menghalalkan segala cara, mulai melobangi kertas suara sampai membeli saksi, tak ada fakta pendukungnya, hingga hajatan itu kelar. Perhitungan suara resmi KPUD di Hotel Borobudur Jum’at (28/9) menyimpulkan hasil akhir tak jauh berbeda dengan lembaga-lembaga penyelenggara hitung cepat. Dari total jumlah suara 4.667.941 di putaran kedua, Jokowi-Basuki menang dengan 53,82% atau 2. 472.130 pemilih. Juara bertahan Foke-Nara kebagian 46,18 persen alias 2.120.815 pencoblos. Selisih suara mereka 351.315, lebih kurang sama dengan jumlah penduduk satu kecamatan di Jakarta.
Joko Widodo membuktikan instingnya sebagai pebisnis murni. Jauh sebelum memutuskan diri menerima pinangan PDI Perjuangan sebagai bakal calon Gubernur DKI, pengusaha kerajinan kayu ini berkilah, ia akan hitung-hitungan dulu. “Kalau kemungkinan menangnya besar, saya akan ambil,” katanya saat itu. Nyatalah kemudian, Jokowi sukses menumbangkan lima kandidat lain –termasuk calon gubernur yang maju dengan bekal rekor “pernah dua kali mengalahkan inkamben. Di partai final satu lawan satu, Jokowi tetap tak terbendung, mengalahkan Fauzi Bowo yang didukung limpahan suara dan partai milik kontestan kalah di babak sebelumnya.
Tapi, tentu saja Jokowi bukanlah seorang malaikat. Ia bukan Aladin. Ia tak datang ke Jakarta dengan membawa peri lampu dan peri cincin, yang bisa mengubah keinginan warga Jakarta dalam hitungan sekon, cukup dengan menggosok punggung lampu usang itu. Jokowi menyebut angka 4 tahun sebagai waktu paling cepat penyelesaian monorel, dan 8-9 tahun sebagai term waktu penyelesaian Mass Rapid Transit (MRT). Jauh di atas sumbar seorang kandidat yang menyebut “3 tahun bisa” menyelesaikan aneka permasalahan Jakarta.
Sasaran makian baru
Jokowi bukan malaikat. Warga Jakarta tak bakal memberi toleransi lama kepada pejabat baru. Makian anyar akan timbul, saat menghadapi problem kemacetan yang sama. Mungkin tinggal mengubah frasa “Fu*k Foke” jadi “Janc*k Jokowi.” Kita masih harus bersiap, bahwa tak ada perubahan dengan cepat, kecuali memang tinggal di Persia dan memegang lampu tua berisi peri sang pengabul cita.
Jokowi juga harus siap. Orang-orang yang bertepuk-tangan mengusungnya, bisa jadi akan berubah menjadi kelompok paling kritis, dan berpotensi menghantamnya dari berbagai sudut, kalau kebijakannya tak sesuai janji kampanye. Kartu sehat, kampung susun, penambahan 1000 bis Transjakarta, water injection, dan jualan-jualan lainnya.
Warga ibukota sudah jenuh dengan rekam jejak Foke, yang 30 tahun lebih malang-melintang di Balai Kota, dari staf ahli, kepala dinas, sekda, wakil gubermur, sampai gubernur. Semua tak peduli bahwa penyelesaian yang digagas Foke adalah yang paling intelek, terukur, dan realistis. Semangatnya adalah “semangat perubahan”. Yang penting ganti dulu. Persis seperti orang Amerika menerima Obama, demi menurunkan George Walker Bush dan kekuatan Partai Republiknya. Persis seperti orang Indonesia pada 2004 terpesona pada kharisma Susilo Bambang Yudhoyono, wajah baru yang dianggap sebagai juru selamat bangsa saat itu.
Harapan setumpuk ada pada Joko Widodo. Setidaknya juga, agar pemilik akun twitter @jokowi_d02 ini lebih banyak mendengarkan keluhan warganya. Jangan sampai ia menjadi cerminan dari profil akun twitter itu. Diikuti hampir 250 ribu followers, tapi justru tak mengikuti satu pun (0 following) orang-orang yang seharusnya bisa menjadi referensi berpikirnya.
Selamat bekerja, bekerja, dan bekerja, Jokowi-Ahok, sepasang pemimpin yang tak punya peri lampu dan peri cincin beserta lampu ajaibnya…
53,82 om :p
LOGIS,,LOGIS,LOGIS, PENYAMPAIAN MISINYA,,,
JEMPOL