Bagaimana mungkin kita dapat bekerja dengan tenang dan berkreasi dengan optimal, kalau urusan perut belum selesai.
Ini oleh-oleh dari diskusi live acara “Dewan Pers Kita” di TVRI semalam, Selasa 27 November, pukul 21.00-22.00 WIB bersama anggota Dewan Pers Wina Armada, staf khusus Menteri Tenaga Kerja Dita Indah Sari dan advokat masalah perburuhan Kemalsjah Siregar. Dalam diskusi yang resminya bertema “Kontroversi Gerakan Buruh dan Pers”, saya, Jojo Raharjo, diundang sebagai Ketua Divisi Serikat Pekerja Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.
“Kalau saat ini disurvei, mungkin semakin sedikit jumlah anak muda Indonesia yang berminat menjadi jurnalis,” kata Jojo dengan mengawali keprihatinan terhadap rangkaian kekerasan yang menimpa jurnalis, seperti terjadi di Padang, Riau, dan Manado. Jojo memaparkan, jurnalis tidak usah malu mengakui, bahwa di balik kemudahan-kemudahan akses dalam profesinya, ia tetaplah seorang buruh. “Selama ia masih menerima gaji atau honor bulanan, jurnalis tetap buruh. Selepas ketemu presiden atau menteri di istana, ia tetap saja naik metro-mini, ojek, atau angkot, dengan memikirkan neraca ekonomi rumah tangganya yang tak bagus-bagus amat,” katanya.
Sementara itu, Dita Indah Sari memaparkan, pers kurang utuh dalam meliput masalah perburuhan. “Selama ini yang ditonjolkan hanya pemberitaan tuntutan buruh, kurang mengangkat masalah hulu, misalnya inefisiensi sektor ekonomi, sehingga buruh menjadi korban,” kata mantan aktivis Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia ini
Menanggapi tudingan itu, Jojo berkata, fenomena itu harus dikembalikan ke publik juga. Ada demand ada supply. Faktanya, selama ini masyakarat lebih menyukai berita unjuk rasa yang ada ricuhnya, ada lempar-lemparannya. “Kami sih inginnya menyajikan berita lebih edukatif, misalnya memaparkan personalisasi seorang buruh, bagaimana kehidupan dan perjuangannya sehari-hari, daripada mengekspose demo yang rusuh-rusuh,” jelasnya.
Upah murah, tanpa perlindungan
Selain itu, Jojo berkata, saat ini posisi jurnalis sebagai buruh amat rentan terhadap pemecatan. AJI saat ini terus konsen pada permasalahan ketenagakerjaan seperti yang menimpa Luviana di Metro TV, jurnalis Harian Semarang, Palu dan juga di tempat-tempat lain. Untuk upah layak, masih banyak jurnalis yang bekerja sebagai karyawan tetap mendapatkan gaji di bawah standar upah minimum kota. “Apalagi di tingkat jurnalis freelance, koresponden atau kontributor, bahkan ada media yang masih memberi honor di kisaran Rp 5 ribu atau Rp 10 ribu per berita. Tak ada tunjangan transportasi, telekomuniksai, dan jaminan kesehatan,” katanya.
Terkait maraknya tuntutan buruh yang dikenal dengan akronim Hostum (Hapus Outsourcing dan Tolak Upah Murah), Kemal Siregar dapat memahami kegalauan para buruh. “Tapi, janganlah sampai melakukan sweeping atau menyandera manajemen. Kemerdekaan menyampaikan pendapat harus disampaikan secara damai,” katanya.
Tentang tuduhan bahwa buruh di Indonesia dinilai banyak menuntut tapi kurang produktif, Dita menjawab hal itu tak lepas dari persoalan buruknya infrastruktur industri. “Harus diketahui bahwa 600 dari 1300 mesin industri tekstil yang kita miliki ternyata oeninggalan Belanda. Bagaimana mungkin bisa produktif kalau mesinnya lelet. Belum persoalan jalan macet, tingginya bunga bank, dan faktor-faktor struktural lain,” katanya.
Khusus mengenai penyelesaian permasalahan ketenagakerjaan, selain berpegang pada UU No. 40/1999 tentang Pers, jurnalis tetap mengacu pada UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 21/2000 tentang Serikat Pekerja. “Bagaimanapun Serikat Pekerja bukanlah musuh perusahaan, tetapi lebih kepada representasi karyawan untuk duduk bersama manajemen. Seperti yang diwujudkan Kompas dengan Perkumpulan Karyawan Kompas, Tempo dengan Dewan Karyawan Tempo, dan lain-lain,” paparnya.
Kehadiran Serikat Pekerja itulah yang akan menguatkan posisi tawar jurnalis, misalnya menanyakan transparansi keuntungan perusahaan dan pembagiannya dengan karyawan, mekanisme penilaian kerja, status pengangkatan, dan lain-lain. Selain tetap menguatkan jurnalis untuk bekerja sesuai dengan kewajiban dan kemampuan terbaiknya. “Kita bisa bekerja dengan maksimal, kalau urusan perut sudah beres. Bagaimanapun, ada unsur EAT dalam kata CR-EAT-IVITY. No Creativity without Eat,” pungkas Jojo.