Ke Aceh, setelah Sewindu Bencana Itu…

Tulisan ini dibuat di kedai kopi ‘Dhapu Kupi’ Simpang Surabaya, titik yang sama saat delapan tahun lalu jadi tempat numpang tidur liputan tsunami.

Museum Tsunami. Mewariskan sejarah pada generasi esok hari.
Museum Tsunami. Mewariskan sejarah pada generasi esok hari.

Ini malam terakhir, menikmati Aceh selama empat malam, sebelum Minggu (16/12) kembali ke Jakarta. Kalau delapan tahun silam berkesempatan kunjung ke Aceh terkait liputan tsunami –dua pekan dimulai 9 Januari 2005, maka kunjungan kedua ke ‘Tanah Rencong’ kali ini untuk pengambilan gambar program talk show ringan, ‘Kata Kita’ Kompas TV, yang rencananya tayang 19 dan 25 Desember.

Banyak yang berubah dari Aceh. Tentu saja. Terutama infrastruktur, jalan dan bangunan, yang kian modern, pasca bencana mahadahsyat menewaskan hampir 200 ribu jiwa itu. Yang sama sekali tak berubah adalah keramahan penduduknya, canda-canda mereka, dan semangat juang nan tinggi. Kebiasaan nongkrong di warung kopi pun tak berubah. Meski kini nongkrong kopi orang Aceh jadi mirip orang Yogya, dengan fasilitas internet nirkabel di warkop itu. “Dulu nongkrong kopi lebih untuk sosialisasi, kini  dengan wi-fi, malah orang masuk warung kopi kemudian sibuk dengan laptopnya sendiri-sendiri,” kata Davi Abdullah, kontributor Kompas TV yang setia menemani selama di Banda Aceh.

Kedai kopi legendaris Solong,Ulee Karang. Bergeser dari fungsi sosial.
Kedai kopi legendaris Solong,Ulee Karang. Bergeser dari fungsi sosial.

Keinginan menonjolkan tradisi minum kopi warga Aceh itulah yang membuat kami merasa perlu mengunjungi ‘Solong’, kedai kopi legendaris di kawasan Ulee Kareng. Nyaris serupa dengan tradisi di Paris –juga di beberapa daerah di nusantara seperti Minang dan Belitong- masyarakat memilih nongkrong di kedai kopi sebelum, saat istirahat, dan sepulang kerja. Serasa ada yang hilang kalau sehari tak nongkrong di warung kopi.

Di Solong bahkan tergolong unik. Warkop nan luas itu seperti memetakan pelanggan setianya. Di barisan depan, biasa berkumpul para politisi dan pegawai negeri, sementara di ruang belakang, mahasiswa dan pegiat LSM memiliki bangku khusus tempat mereka menghirup kopi dan menyantap penganan.

Sabang nan kian berkembang

Monumen Nol Kilometer Sabang. Indonesia dimulai dari sini.
Monumen Nol Kilometer Sabang. Indonesia dimulai dari sini.

Berkunjung ke Aceh tanpa ke Pulau Weh, sama seperti muhibah ke New York tanpa menyeberang ke Pulau Liberty, tempat patung setinggi 93 meter itu bertahta. Atas dasar. Delapan tahun silam, dilanda kejenuhan meliput sisa bencana, saya merasa perlu menyeberang ke ujung barat Indonesia, kemudian menghasilkan sehalaman tulisan perjalanan Koran Tempo Minggu bertajuk, “Sabang, Masih Ada Asa Tersisa”.

Beruntung, kebutuhan program ‘Kata Kita’ yang menonjolkan kesiapan jelang ‘Visit Aceh Year 2013’ ini menjadwalkan kami berkunjung ke Pulau Weh. Sabang pun kembali terjejak. Mampir di Monumen Nol Kilometer –yang berbeda kini mesti bayar retribusi Rp 2 ribu sekali masuk, snorkeling di Pulau Rubiah, dan menikmati durian Meulaboh yang dibawa ke Sabang.

Muzakir Manaf, birokrat yang mantan panglima perang. Aceh kini lebih terbuka.
Muzakir Manaf, birokrat yang mantan panglima perang. Aceh kini lebih terbuka.

Bersyukur pula bisa bertemu dengan Muzakir Manaf, mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka yang kini jadi Wakil Gubernur serta Ketua Partai Aceh. “Kami ingin orang luar tak hanya berwisata, tapi juga berinvestasi di Aceh,” kata pria yang akrab disapa Mualem, artinya pelatih.  Pada masa perang Aceh, gelar Mualem disematkan kepada seseorang yang memiliki pengetahuan tinggi tentang ilmu kemiliteran, yang memiliki kemampuan untuk melatih pasukannya. Selepas pendidikan menengah di Aceh Utara, Muzakir menempuh pelatihan militer di Camp Tajura, Libya 1986-1989. “Mau wisata apapun ada di Aceh. Wisata religi, wisata budaya, wisata bencana. Bahkan, mau wisata perang ke hutan pun bisa,” kata pria 48 tahun yang juga pernah dipercaya menjadi pengawal mendiang Muammar Qadafi ini.

Aceh tengah berkembang ke banyak hal baik. Pada hari ini pun, di tengah gejolak sepakbola nasional yang makin rumit, Piala Gubernur Aceh digelar di Stadion Harapan Bangsa, mengundang tim asing dari Malaysia dan Brunei Darussalam. Suasana ‘invasi’ olahraga manca juga tampak saat orang-orang muda Aceh serius menyaksikan Liga Inggris lewat ESPN dan Starsport di aneka kedai kopi. Termasuk saya, yang bergabung dengan kawan-kawan Big Reds Banda Aceh di kedai F-5 kawasan Batoh.

Perjalanan saya ke Aceh nyaris sempurna. Kecuali pada malam terakhir ini. Menonton Liverpool takluk 1-3 dari Aston Villa di kandang sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published.