PKS mencoba bangkit, dengan mengangkat orang nomor duanya menjadi presiden baru.
Partai Keadilan Sejahtera benar-benar dalam sorotan. Tampil dengan diferensiasi sebagai partai yang “bersih”, mereka kini benar-benar harus bersih-bersih, terutama setelah Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq menjadi tersangka dalam kasus suap impor daging sapi. Luthfi yang pernah berjihad di Afganistan itu mendekam di Rutan KPK cabang Guntur dan diduga sebagai pihak yang memuluskan izin PT Indoguna Utama untuk mendapat kuota impor daging.
PKS adalah sebuah fenomena. Sejak ikut Pemilu 1999 dengan nama Partai Keadilan (PK), partai ini dianggap sebagai platform sebuah partai yang rapi, dengan struktur, mengakar sampai ke bawah. Kalau Anda aktifis kampus perguruan tinggi negeri, pasti mengenali kegiatan bagaimana pengajian dan Unit Kegiatan Kerohanian Islam melakukan perekrutan, pengkaderan, dan penggemblengan para aktivisnya. Di masjid atau musholla kampus itulah cikal bakal partai dakwah ini. Bahkan, tak jarang hingga ke tingkat sekolah menengah.
Saya duduk di bangku sebuah SMA negeri di Surabaya tahun 1992-1995. Tentu reformasi belum terjadi, dan PK pun belum pula berdiri. Tapi, saya bisa mencium kedahysatan gerakan mereka, nan rapi, terstruktur, dan massif, terutama dalam merebut kekuasaan di kampus. Sampai sekarang, saya mengagumi, bagaimana kelompok ini merebut jabatan Ketua OSIS, dengan cara-cara yang sulit dijelaskan di sini. Seorang figur yang sama sekali tak masuk hitungan, tak ada akar kuat di antara siswa, sukses menjadi pucuk tertinggi organisasi siswa. Rekayasa dalam pemilihan? Sulit membuktikannya. Tapi, misi itu sukses, menyingkirkan kandidat lain, anak band yang diyakini memiliki pendukung lebih banyak.
PK berdiri pada 20 Juli 1998, lewat sebuah konferensi pers di Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Ketua, mereka menyebutnya presiden, pertamanya Nur Mahmudi Ismail, yang kemudian hari menjabat Menteri Kehutanan dan kini menjadi Walikota Depok dua periode. Terpilih sebagai menterinya Gus Dur, kursi presiden dilepas oleh Nur Mahmudi, diserahkan kepada Hidayat Nur Wahid. Pada Pemilu 1999, PK berada di peringkat ke-7 dan meraih 7 kursi DPR ditambah 6 kursi lagi hasil penggabungan sisa suara (Stembus Accord). Di DPR mereka membentuk Fraksi Reformasi bersama Partai Amanat Nasional, dengan Hatta Radjasa menjabat sebagai ketua fraksi.
Berganti nama
Terbentur UU Pemili No. 3/1999 tentang syarat berlakunya batas minimum keikut sertaan parpol pada pemilu selanjutnya (electoral threshold) dua persen, maka PK harus mengubah namanya untuk dapat ikut Pemilu 2004. Partai Keadilan Sejahtera tak menemui kesulitan untuk lolos verifikasi. Mereka naik peringkat menjadi posisi ke-6 dengan perolehan 8 persen suara dan meraih 45 kursi. Terpilih sebagai Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid menyerahkan kursi presiden kepada Tifatul Sembiring.
Pada pemilu 2009, PKS menjadi partai pertama –selain Demokrat tentunya, yang mengusung Susilo Bambang Yudhoyono sebagai capres. Buahnya manis, mereka mengakhiri kontestasi dengan capaian peringkat ke-4, mendapat 7,88% suara pemilih dan 57 kursi DPR. Tifatul, yang berada di lingkaran dekat tim kampanye SBY-Budiono serta dianggap banyak memasok “pantun” dalam setiap orasi SBY, mendapat posisi Menteri Komunikasi dan Informatika. Posisinya sebagai pemimpin tertinggi partai pun digantikan Luthfi Hasan Ishaaq, salah seorang pendiri PK pada 1998, lulusan Punjab University Pakistan yang juga pernah berjihad di Afganistan. Mendampingi Luthfi, masih Anis Matta, yang menjabat sekjen sejak partai itu masih bernama PK pada 1998.
Awal Februari 2013, Anis Matta diumumkan menjadi presiden ke-5 PKS. Dalam usia 44 tahun, pria kelahiran Bone, 7 Desember 1968 itu telah 15 tahun menjabat sekjen, artinya ia kali pertama menduduki posisi penting ini pada umur 29 tahun!
Anis Matta bak senjata baru PKS. Kemumpuniannya dalam berpolitik, tercermin pada pidato perdana sebagai presiden amat membahana di kantor DPP PKS, di tepi jalan tol lingkar luar Jakarta. “Kemarin kita menyaksikan saudara kita, Presiden kita, Luthfi Hasan Ishaaq, dikeluarkan dari ruangan ini dibawa ke tahanan. Dan Insya Allah, dari ruangan ini pula lah insya Allah kita akan memulai kerja besar baru untuk membenahi diri kita dan sekaligus membenahi negara kita semuanya,” kata anggota Majelis Hikmah PP Muhamadiyah 2000-2005 itu. Anis menegaskan, partainya menghadapi konspirasi berdesain besar. “Ada operasi penghancuran terhadap partai ini,” kata Anis, dalam dialog langsung di Kompas Petang, Kompas TV, Jum’at (1/2).
Riwayat pendidikannya tak mentereng, setidaknya bila dibandingkan rekan-rekan partainya yang banyak menimba ilmu di Timur Tengah. Anis “hanya” meraih gelar S1 di bidang syanat Islam dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) pada tahun 1992. Tapi, lulusan Lemhanas 2001 ini sudah menunjukkan modal awal keseriusannya membenahi partai.
Tak tanggung-tanggung, Anis mundur sebagai anggota sekaligus Wakil Ketua DPR RI, jabatan yang diembannya sejak 2004. Tercatat, hanya Anas Urbaningrum yang berani melakukan langkah serupa, mundur dari kursi parlemen, saat terpilih sebagai pucuk pimpinan partai. “Saya sadar bahwa saya akan melakukan tugas yang sangat besar, saya tidak ingin dalam proses pelaksanaan tugas ini terganggu dengan hal-hal lain yang bisa membuat tujuan ini tidak bisa tercapai,” ungkap Anis dalam orasinya nan menggelegar.
Menarik dinanti di pemilu tahun depan, akankah Anis kembali melanjutkan tren naik peringkat PKS di Pemilu sejak 1999, atau justru akan membuat partai ini gulung tikar, seperti prediksi salah seorang pendiri Partai Keadilan, Yusuf Supendi. Menurutnya, tugas Anis sangat berat, yakni bagaimana memulihkan kepercayaan diri kader, bahwa kasus Luthfi tak mewakili elit partai. “Kalau tidak, akan banyak kader yang muntaber, mundur tanpa berita,” kata ustad yang pernah melaporkan Anis Matta ke KPK atas tuduhan penggelapan dana Pilkada DKI 2007 sebesar Rp 10 miliar ini.