Fim Habibie Ainun menyisakan banyak pesan: kesetiaan, nasionalisme, dan beratnya makna perjuangan untuk sukses.
Menonton film Habibie dan Ainun, mengingatkan pada kisah di pekan ketiga Mei 2010. Saat itu, kami serombongan jurnalis yang mengikuti Pelatihan Multimedia bertema “Contribution of Multimedia Journalism to Strengthening Journalists’ Capacity Towards Freedom of the Press” di Hilversum, Belanda, bersiap pulang. Tiga pekan berpisah dari keluarga, membuat kami ingin segera kembali ke tanah air. Namun, Anta Kusuma, salah seorang rekan kami, tampak panik dan bingung. Ia harus memperpanjang waktunya di Eropa, terkait penugasan dari kantornya, Transtv, menyeberang ke Jerman. Ia harus memotret hari-hari terakhir Hasrie Ainun Habibie di Muenchen, tepatnya Klinikum Gro`hadern, Ludwig-Maximilians-Universitat.
Film Habibie dan Ainun adalah sebuah film tentang sumpah. Termasuk yang diucapkannya saat tergeletak akibat tuberkulosis pada usia 21 tahun di sebuah rumah sakit di Jerman:
“Terlentang ! Jatuh ! Perih ! Kesal ! Ibu pertiwi Engkau pegangan. Dalam perjalanan janji Pusaka dan Sakti. Tanah Tumpa daraku makmur dan suci… Hancur badan ! Tetap berjalan ! Jiwa Besar dan Suci Membawa aku PADAMU.”
Juga sumpah Ainun kepada Habibie, “Tidak berjanji menjadi isteri yang baik, tapi berjanji akan selalu menemanimu dalam keadaan apapun.” Pada akhirnya, film ini berkisah tentang loyalitas, cinta, dan kesetiaan sepasang insan manusia. Menemani dalam suka duka. Menjalani mepetnya hidup sebagai mahasiswa di mancanegara, sampai memilih jalan kaki di tengah musim dingin, dari tempat kerja menuju flat karena tipisnya uang untuk ongkos naik bus.
Sukses besar Habibie, pemimpin yang punya visi itu, tercapai pada peluncuran pesawat N-250 Gatotkaca pada 10 Agustus 1995. Hari itu kemudian diperingati sebagai Hari Teknologi Nasional alias Harteknas. Saya ingat, keesokan harinya, di Surabaya, koran Jawa Pos menampilkan judul ‘Pak Harto Acungkan Jempol’, tersenyum saat melihat Gatotkaca terbang. Semua keberhasilan itu diakui Habibie karena peran besar Ainun dan dua puteranya.
Menulis sebagai obat duka
Pilihan menulis buku ‘Habibie dan Ainun’, yang kemudian difilmkan oleh Dhamoo dan Manoj Punjabi melalui MD Pictures, merupakan terapi Habibie menghilangkan laranya. Beberapa hari setelah meninggalnya Ainun, Habibie sempat terkena ‘psikosomatik malignant’.
“Waktu Ibu meninggal, hanya dalam waktu 7 atau 8 hari kemudian saya itu kejebak tengah malam jalan tanpa menggunakan sandal di dalam rumah seperti anak kecil nangis mencari ibunya. Dalam hal itu, tim dokter mengatakan, ‘Pak Habibie itu namanya mengalami Psikosomatik malignant. Atau kalau tidak hati-hati dalam kesedihan ia bisa mengikuti jejak istrinya ke liang kubur’,” papar Habibie, dalam salah satu acara penandatanganan bukunya.
Habibie memiliki 4 opsi cara pengobatan untuk ia bisa sehat seperti semula. Pilihan itu yakni: harus masuk rumah sakit jiwa, tinggal di rumah dengan pengawasan dokter, mencurahkan isi hati ke orang terdekat atau dengan cara menyelesaikannya sendiri. “Saya pilih opsi keempat, saya selesaikan sendiridengan curhat kepada jiwa dan diri saya sendiri. Saya menulis,” katanya.
Dengan gayanya yang santai, ia pun memberikan contoh bahwa apa yang akan ia jalani adalah dengan cara me-restart dirinya sendiri. “Kalau Anda punya laptop, dan laptop itu hang, apa yang dilakukan saudara?” tanya Habibie.”Restart.” jawab para wartawan.
Restart itulah yang dilakukan oleh Habibie. Habibie beranggapan bahwa sejatinya manusia terdiri dari dua elemen. Yaitu, perasaan dan rasio. Jika kedua elemen itu bersinergi dengan baik maka akan menghasilkan hal yang baik pula untuk diri sendiri.
Beberapa kejanggalan
Terlepas dari larisnya film berdurasi 118 yang sudah menembus angka 3 juta penonton ini, ada beberapa kejanggalan di dalamnya. Kawan sekantor saya, presenter Kompas TV Ratna Dumila berujar, beberapa adegan sebaiknya menggunakan ‘source’ asli. “Aneh menyaksikan foto Pak Harto dipasangkan dengan foto Reza Rahadian,” paparnya.
Begitu pula pada voice over pengambilan sumpah presiden. “Mengapa tidak memakai audio aslinya?” tanya Ratna. Ada juga ‘keunikan’ lain. “Make-upnya lompat-lompat. Pas di Indonesia mereka tampak tua, tapi saat balik ke Jerman untuk honeymoon, mereka tampak muda lagi,” kritiknya.
Bagaimanapun, film ini bercerita tentang makna kesetiaan sebuah keluarga. Mereka terpisah oleh maut, hanya 10 hari setelah melewati peringatan hari jadi pernikahan ke-48. Cinta mereka berdua terbangun dalam perjalanan mewujudkan mimpi. Dinginnya salju Jerman, pengorbanan, rasa sakit, kesendirian serta godaan harta dan kekuasaan saat mereka kembali ke Indonesia mengiringi perjalanan dua hidup menjadi satu. Bagi Rudy Habibie, sosok Ainun adalah segalanya. Ainun adalah mata untuk melihat hidupnya. Sama halnya dengan Ainun, Habibie adalah segalanya, pengisi kasih dalam hidupnya.
Ainun Habibie lahir di Semarang, 11 Agustus 1937 dan nama Hasri Ainun berarti mata yang indah. Hasri Ainun menikah dengan BJ Habibie pada 12 Mei 1962 dan setelah menikah, Habibie langsung memboyong dokter lulusan FK Universitas Indonesia itu ke Jerman. Mereka dianugerahi dua putra, Ilham Akbar dan Thareq Kemal, serta empat orang cucu. Ainun Habibie menerima Bintang Mahaputra Adi Pradana sehingga berhak dimakamkan di TMP Kalibata yang dipimpin langsung inspektur upacara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Kisah Habibie dan Ainun jauh lebih nyata dan bermakna daripada Laila Majnun, percintaan dramatis berlatar belakang tradisi Arab pada abad pertengahan. Karena hubungannya dengan Laila, puteri bangsawan nan cantik jelita, tak direstui keluarga, dengan Majnun, putera hartawan yang budiman menjadi gila dan terus terobsesi pada Laila.
Cerita yang menarik. Keren! Saya masih menyimpan “footage” ketika Habibie setia menunggu peti jenazah isterinya diturunkan dari mobil di Munchen. Spertinya Trans TV gak punya:). Dramatis!