Situasi darurat di Partai Demokrat seolah menjadi satu-satunya persoalan penting di Indonesia hari-hari ini. Media dan masyarakat menikmati, atau dipaksa menikmati?
Hampir satu bulan konsumen media dijejali berita tentang kemelut yang terjadi di Partai Demokrat. Masyarakat luas pun seakan dipaksa sadar, masalah yang ada di partai pemenang Pemilu 2009 itu merupakan problem seluruh bangsa. Mulai turunnya tingkat keterpilihan, status ketua umum yang menjadi tersangka korupsi dan mundur dari jabatannya, sampai menyaksikan begitu besarnya atensi Presiden RI –merangkap Ketua Dewan Pembina, Ketua Dewan Kehormatan, dan Ketua Majelis Tinggi Partai.
Hari demi hari, bahkan menit demi menit di media elektronik, perkembangan kasus partai berlambang mercy ini menjadi fokus utama media. Ada tokoh yang ingin agar Ketua Umum Partai Demokrat bertahan, tapi banyak juga yang meminta Anas Urbaningrum turun jabatan. Semua punya argumen masing-masing. Semua ditampilkan dalam liputan, dialog, dan bahkan debat.
Kalau mau ditelusuri, penyebab awal semua prahara Partai Demokrat adalah survey Syaiful Mujani Research Consulting (SMRC), yang dirilis awal Februari lalu. Partai Demokrat yang merajai Pemilu 2009 dalam survei ini tergambar mengalami jatuh bebas. Suara responden hanya 8,3 persen. Hasil survei dipaparkan dengan tajuk “Kinerja Pemerintah dan Partai, Tren Anomali 2012-2013”. Survei SMRC melibatkan 1.220 responden di seluruh Indonesia. Hasil survei menggunakan rentang kesalahan plus-minus 3 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen. Pertanyaan yang diajukan kepada responden adalah “partai apa yang akan dipilih jika pemilu dilaksanakan sekarang?”
Hanya karena survei itulah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai merasa perlu berdoa di depan ka’bah demi keselamatan partainya. Sesampainya di tanah air, hal pertama dan prioritas yang dilakukannya adalah membenahi urusan partai. Selanjutnya, perhatian demi perhatian tersedot ke Partai Demokrat, dan berlanjut pada Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) 17 Februari lalu.
Sampai kemudian saat Anas memilih mundur, tak sampai 24 jam setelah ditetapkan sebagai tersangka penerima gratifikasi oleh KPK, pers belum mau diam. Media mencoba mengangkat sisi lain Anas yang saat berpidato menyampaikan pengunduran dirinya di Kantor DPP Partai Demokrat sempat menyatakan, “Masih banyak halaman berikut yang akan kita buka dan baca bersama tentu untuk kebaikan kita bersama. Ini bukan tutup buku, tetapi pembukaan buku halaman pertama.” Polemik terus berlanjut, termasuk akankah Anas bertingkah seperti Nazarudin, karena merasa ‘ditinggalkan’ patron-patronnya di partai, maka ia akan bernyanyi membongkar kebobrokan Partai Demokrat?
Seberapa penting
Terlepas dari benar tidaknya Anas Urbaningrum melakukan tindak korupsi, dalam hal ii gratifikasi, menjadi pertanyaan bersama kita, sebegitu pentingkah persoalan kemelut di Partai Demokrat ini, sehingga isu-isu yang berkembang di dalamnya layak jadi pembicaraan utama (people’s talk) dan mendominasi agenda media?
Baiklah Partai Demokrat adalah partai penguasa, pemenang Pemilu 2009. Partai ini naik empat tingkat dibandingkan lima tahun sebelumnya, dengan menjadi juara umum pemilihan umum, meraup 20 persen suara (21 juta jiwa pemilih) dan 150 kursi DPR. Sebelumnya, pada kesempatan pertama menjadi peserta pemilu pada 2004, Demokrat mendapatkan 7,45 persen suara (8,4 juta pemilih) dan 57 kursi di DPR RI. Tapi, sebegitu pentingkah peran Partai Demokrat terhadap kesejahteraan bangsa ini, sehingga ia layak menyita atensi publik sebegitu besarnya?
Media punya peran penting saat menjadi agen yang membentuk agenda setting pembicaraan di publik. Agenda setting menjelaskan begitu besarnya pengaruh media, berkaitan dengan kemampuannya dalam memberitahukan kepada audiens mengenai isu-isu apa sajakah yang penting. Kolumnis Walter Lippman mengatakan bahwa media memiliki kemampuan untuk menciptakan pencitraan-pencitraan ke hadapan publik. Kemudian McCombs and Shaw melakukan analisis dan investigasi mengenai kesadaran dan informasi. dalam menganalisa fungsi agenda setting media terhadap jalannya kampanye pemilihan presiden Amerika Serikat pada tahun 1968, 1972, dan 1976. Mereka berkesimpulan bahwa media massa memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap apa yang pemilih bicarakan mengenai kampanye politik, dan memberikan pengaruh besar terhadap isu-isu apa yang penting untuk dibicarakan.
Partai Demokrat, dan juga isu-isu politik lain cukup penting. Tapi, bukankah masih ada hal lain yang perlu dibicarakan dan lebih menyangkut kehidupan orang banyak? Masalah kenaikan harga elpiji bagi warga kelas menengah, harga BBM yang terombang-ambing kekuatan politik di tengah subsidi APBN yang terus keropos, atau kian tingginya angka kecelakaan di jalan raya.
Politik memang penting, partai pemenang pemilu memang salah satu primadona pembicaraan, tapi demi kepentingan kesejahteraan orang banyak, kenapa kita selalu dipaksa mengunyah makanan yang sama, yang tak membuat tubuh kita sehat, kecuali hanya manis di mulut saja?
*) Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas “Membuat Tajuk Rencana” sebagai salah satu mata Uji Kompetensi Jurnalis (UKJ) yang dihelat AJI Jakarta 24 Februari 2013 di Kalibata Timur, Jakarta Selatan
Mantep puoool poko’e……..
Ampe capek denger beritanya partai satu ini, selalu berkelit kalo kena masalah padahal akhrinya terungkap juga perbuatan jahatnya kepada masyarakat