Setelah sebelas tahun, saya berkesempatan kembali mengunjungi Kota Kupang.
Ini oleh-oleh kecil, setelah pertengahan pekan lalu menghabiskan tiga hari dua malam di Nusa Tenggara Timur. Acara resminya, menjadi pembicara dalam Workshop ‘Penguatan Kapasitas Jurnalis dalam Keadilan Pangan’, di Hotel Ima, Jl Timor Raya, Kupang.
Berkunjung ke Kupang, mengingatkan pada sebelas tahun lalu. Pada pertengahan 2001 dan juga media 2002, itulah pengalaman ke luar negeri saya kali pertama dan kedua. Mengikuti kegiatan sosial ‘East Timor Youth Forum’, selama sebulan 20-an orang dari berbagai daerah di Indonesia berkumpul dan membaur dengan penduduk lokal Timor Leste. Untuk menuju negara baru di Pulau Timor itu, kami menempuh rute laut dari Surabaya, lewat Benoa, Maumere, Waingapu, dan transit semalam di Kupang, sebelum lanjut perjalanan darat ke Atambua.
Tak banyak yang berubah dari Kupang dalam sebelas tahun ini, kecuali dulu memang belum ada pusat perbelanjaan sama sekali. “Sekarang kami punya dua mall, Hypermart dan Ramayana,” kata Edy Olin, jurnalis Kompas TV. Malam itu, gulita menyelimuti jalanan kota berpenduduk 450 ribu jiwa itu. Listrik padam sudah hal biasa bagi penduduk kota yang berada di pesisir Teluk Kupang itu.
Tak beda dengan kawasan lain di luar Jawa, Kupang tak terlalu banyak diperhatikan pemimpin negara. Hanya dua kali Susilo Bambang Yudhoyono, selaku presiden, hadir di sana. Sekali saat peringatan Hari Pers Nasional 2011, yang dilanjutkan perjalanan darat ke SoE dan Atambua. “Kunjungan itulah yang membuat jalan utama dari Kupang ke Timor Leste menjadi mulus,” kata Simon Petrus Nilli, pemimpin redaksi koran Timor Ekspress. Kesempatan lain SBY ke Kupang saat tahun lalu singgah sejenak dalam lawatannya ke Sumba Timur, usai kunjungan kenegaraan ke Darwin, Australia.
Biji sesawi menjadi atom
Kerap merasa kurang diperhatikan, membuat orang Kupang mengeluh. Mereka pun memplesetkan nama provinsi itu, NTT menjadi ‘Nasib Tak Tentu’ atau ‘Nanti Tuhan Tolong’. Kekeringan dan gagal panen menjadi cerita lumrah dari tanah nan tandus. Sebaliknya, badai dan banjir bandang di musim penghujan kerap membuat tanaman terendam. “Sebenarnya, curah hujan di NTT ini tak kalah dengan yang turun di Jawa. Hanya saja, manajemen airnya kurang dikelola dengan baik,” kata Zet Malelak, M.Si. Dekan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Kristen Artha Wacana, Kupang.
Salah satu upaya pemerintah mengatasi masalah ini yakni dengan membangun embung atau Bendungan Tilong. Kalau Anda menggunakan penerbangan menuju Bandara El Tari, Kupang, sesaat sebelum pesawat mendarat, tampaklah genangan air besar dari udara. Itulah Embung Tilong, dibangun dari 1995 hingga 2001, berlokasi di Desa Noel Nasi, Kabupaten Kupang. Dengan luas area genangan 192 hektar dan kapasitas tampung sebanyak 19 juta meter kubik, embung ini diharapkan bisa meningkatkan indeks pertanaman pada 40 kawasan daerah irigasi. Sayang, belakangan, pemerintah pusat pun sedih, embung itu belum termanfaatkan secara maksimal.
Potensi Kupang, dan NTT secara umum, amatlah besar. Zet Malelak meyakini, provinsi ini ibarat biji atom yang segera bertransformasi menjadi atom dengan kekuatan maha dahsyat. “Setiap hari 1.500 orang mendarat melalui penerbangan ke Kupang, tapi hanya 800 orang yang terbang meninggalkan Kupang. Yang lain ke mana?” tanya pria yang mengelola komunitas pertanian di Dusun Uel, Desa Nunkurus, Kecamatan Kupang Timur itu.
Baginya, rekap tidak seimbangnya jumlah penumpang yang datang dan pergi itu sudah menggambarkan peribahasa ‘ada gula ada semut’ di Kupang. Dengan segala potensi besarnya, dari pertanian sampai tambang, Kupang diyakini segera menggeliat pesat. Asal tak kembali terjebak pada ucapan nanti, nanti, Nanti Tuhan Tolong…
Keren tulisan dan pengalamannya. Lanjutakan!
inspirator… ayo teruskan mas bro!