Ini hari terakhir mengajar semester genap di UMN.

Tak terasa, satu semester terlewati lagi di Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Hari ini, saya merampungkan hari terakhir mengajar, untuk dua mata kuliah pada Semester Genap 2012/2013. Sejak Maret lalu, saya kebagian mengampu mata kuliah “Editing & Produksi Berita TV” dan “Editing & Produksi Program TV”. Tiga kelas, total tercatat 118 nama mahasiswa yang tercatat di presensi. Bayangkan, bagaimana kelak masa depan mereka semua. Apa ya jadi jurnalis, reporter, presenter dan orang-orang di dunia produksi tv semua?
Ingatan saya melayang 18 tahun silam, saat duduk sebagai mahasiswa program studi Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga. Dosen saya, Suko Widodo -kelak dikenal sebagai “penasehat spiritual” Presiden Republik Mimpi- memberi petuah hebat, “Saya tak ingin kalian semua jadi pekerja media. Kalian harus jadi pemilik media!”
Kini, universitas, akademi, dan segala bentuk jenis pendidikan serupa kursus, makin banyak yang bergairah membuka kelas komunikasi. Mulai gelar sarjana, master, dokter, bahkan sampai SMK pun ada yang pasang peminatan broadcasting. Persoalannya, apa iya semua mau jadi pekerja media?
Mendidik, membentuk karakter

Peserta didik di kampus selevel UMN ini adalah mahasiswa dan mahasiswi “di atas rata-rata”. Soal keuangan, sudah bukan masalah. Baik untuk memenuhi uang kuliah, dengan biaya pendaftaran mencapai Rp 25 juta dan biaya pendidikan di atas Rp 5 juta per semester, maupun untuk peralatan sehari-hari. Untuk tugas membuat liputan tv feature pendek dalam kelompok, rata-rata tiap mahasiswa pegang kamera pribadi sendiri.
Suasana kampus, jangan ditanya. Wi-fi, suasana kantin, perpustakaan dan aroma infrastruktur lain mengingatkan saya saat berkunjung ke University of Maryland dan University of Central Florida di Orlando, US. Modern, nyaman, dan membuat orang kerasan lama di kampus.
Tinggal yang menjadi tantangan para pengajar di sini, mengurangi -atau jika mungkin- meniadakan kesan manja. Modal boleh tak terbatas, kemampuan ber-IT boleh canggih, tapi kalau wawasan kurang dan tak punya semangat “tough”, bagaimana bisa sukses di pasar bebas? Bangga melihat mahasiswa ini punya majalah kampus lebih dari satu. Bangga menyaksikan mereka mampu menggelar malam penghargaan jurnalisme secara mandiri. Bangga mereka begitu serius syuting mengerjakan tugas membuat video berita.
Seharusnya, bekal ini membuat mereka selangkah ke depan. Seperti adagium yang pernah didengungkan tabloid Bola dulu, “Semua Ada Apapun Bisa!”
One Reply to “Jadi Pemilik Media, Jangan Pekerja”