Bermodal maksimal, hasil yang diraih partai Hanura justru minimal. Tak ada surprise berarti dalam perolehan suara pemilu legislatif. Begitupula liputan kampanye ini. Seharusnya bisa menampilkan unsur “kejutan”.
Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) memiliki modal lebih dari cukup untuk sekadar melewati ambang batas parlemen 3,5 persen. Apalagi masuknya konglomerat sekaligus mogul media Hary Tanoesoedibjo ke partai bernomor sepuluh ini pada Februari 2013 menjadi suntikan kekuatan berarti. Ya finansial, ya pengaruh publik lewat kekuatan media. Berselang lima bulan, Hary Tanoe yang baru saja lompat dari Partai Nasdem pun didapuk menjadi Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bapilu) Hanura. Pada bulan Juli tahun lalu juga, pasangan Wiranto-Hary Tanoe dideklarasikan sebagai duet capres-cawapres dari partai ini. Hanura menjadi partai peserta pemilu satu-satunya, yang mengusung paket pemimpin eksekutif pada pemilu legislatif 9 April.
Tapi, jauh panggang dari api. Alih-alih beroleh tiket langsung mencalonkan capres yakni 25 persen suara nasional atau minimal 20 persen kursi DPR, Hanura terpuruk di urutan terakhir peserta pemilu yang lolos ambang batas parlemen. Memang tak seburuk PKPI dan PBB yang kembali terdegradasi, tapi perolehan suara 5,1 persen suara tak terangkat jauh dari hasil Pemilu 2009 yang mendapat 3,8 persen suara nasional atau setara 21 kursi DPR.
Dengan segala daya upaya yang diakukan –mulai membanjiri serangan udara di televisi sampai pengerahan massa kampanye- Partai Hanura pada 2014 hanya menempati urutan ke-10 dari 12 partai politik peserta pemilu nasional. Mendapat keuntungan psikologis tampil di hari terakhir kampanye, tepat sehari jelang masa tenang dimulai, Hanura kurang memaksimalkan peran menempatkan diri sebagai “top of mind” di pikiran pemilih.
Ketua DPP Partai Hanura Fuad Bawazier mengatakan, pencalonan Wiranto dan Hary Tanoesoedibjo sebagai presiden dan wakil presiden dari Partai Hanura sudah selesai setelah melihat hasil hitung cepat sejumlah lembaga dalam pemilu legislatif 2014. “Saya kira pencalonan itu kan sudah selesai dengan sendirinya, sudah tidak realistis kan,” kata Fuad sebagaimana dikutip Kompas.com
Kurang maksimal
Begitu pula liputan kampanye yang dilakukan Felix Nathaniel di Stadion Utama Gelora Bung Karno pada Sabtu (5/4). Secara penampilan, kualitas gambar, dan audio, karya Felix cukup memadai. Sayang, saat bicara materi dan kemasan, liputan kampanye ini kurang kaya dalam variasi konten dan show.
Felix memilih melakukan stand-up di depan panggung, saat panggung itu ‘bisu’, tak ada aktivitas massa, jurkam politisi partai, maupun pengisi acara hiburan. Pun tak ada insert visual yang menyertai di sela-sela narasi laporan yang disampaikannya. Dalam kasus miskin insert visual dan hampir sepenuhnya menyajikan wajah stand-upper, liputan Lisa di kampanye Gerindra tak jauh berbeda. Keunggulannya, Lisa memiliki latar massa, serta sayup-sayup orasi Prabowo Subianto, magnet acara itu.
Televisi adalah media gabungan antara audio dan visual. Selayaknya, apa yang didengar selaras dengan apa yang dilihat. Bisa menjadi unsur kejutan saat Felix menyampaikan, panitia kampanye Hanura menyiapkan tenda-tenda untuk stand warung tegal yang makanannya digratiskan bagi simpatisan kampanye. Sayang, tak ada visual, baik insert atau wawancara yang tampil saat materi itu terdengar. Setali tiga uang saat Felix mengedepankan unsur hiburan kampanye Hanura bakal menampilkan Ayu Ting Ting, Nasar KDI dan penyanyi dangdut lainnya.
Sebagaimana Hanura sebaiknya tak berputus asa dan lebih kreatif lima tahun lagi, Felix pun tak boleh patah arang dalam membuat karya-karya selanjutnya yang lebih aduhai!