Seharusnya, ada story yang bisa dibangun Syanne dari sosok Prabowo dari liputan ini. Tapi, ia memilih topik lain, yang tak dibangunnya dengan optimal.
Syanne Ayuresta meliput kampanye Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Suara tokoh utama hari itu, Prabowo Subianto, bukan lamat-lamat, tapi menggema sampai menenggelamkan suara reporternya. Sayang, Syanne –yang telah percaya diri berdiri di rumput Senayan- memilih membangun cerita lain, tentang pelibatan anak dalam kampanye. Pilihan story ini, juga tak dikemasnya dengan maksimal.
Apakah tak boleh mengambil sisi lain/side bar sebuah liputan, dan bukan sorotan utamanya yang dikedepankan? Bolehlah, bebas-bebas saja. Persoalannya, bagaimana membangun kisah yang dimaksud menjadi sebuah bangunan yang utuh, kokoh, dan nyaman bagi mereka yang mengunjunginya.
Bayangkan, Syanne memiliki amunisi kuat dari SOT (sound of tape/pernyataan Prabowo), antara lain pernyataannya:
“Mereka merusak negara kita, mereka merusak lembaga-lembaga kita, hakim-hakim kita, jenderal-jenderal kita, pejabat-pejabat kita… kita tidak akan mengizinkan!”
“Kita ingin rakyat Indonesia memimpin perubahan itu, saudara-saudara sekalian. Sanggup saudara memimpin perubahan? Saudara siap berkoban jiwa dan raga untuk Indonesia? Benaaaaar? Buktikan keberanian kalian!”
“Masih ingin dengar pidato saya? Atau mau dengar dangdut? Haaa?”
“Bagaimana tadi? Ketua Dewan Pembina lu masih bisa naik kuda ya? Haa?”
Bayangkan kalau Syanne mencomot satu saja SOT/penyataan Prabowo itu, lalu membahasnya secara khusus, disertai insert visual (close-up) yang pas. Jadi itu barang. Sebuah kisah yang humanis, dengan unsur prominence yang kuat.
Proses liputan
Syanne berkisah, pPoses liputan yang dilakukannya berjalan lancar. Berkat bantuan beberapa teman, tugas jurnalistik televis dapat diselesaikan . Alat yang digunakan adalah kamera DSLR dan alat perekam dari telepon genggam. “Namun pada hasil akhir masih banyak suara gangguan dari antusiasme para partisipan kampanye di GBK,” katanya.
Satu cerita tentang narasumbernya yang orang ‘awam’ atau masyarakat biasa. Pengalaman yang saya dapat, ketika narasumber ingin sekali tampil di depan kamera. “Ia sengaja ‘sok sibuk’ di samping kami sambil melirik-lirik ke kamera yang kebetulan anaknya memakai baju partai dan saya memanfaatkan kesempatan tersebut untuk wawancara,” paparnya.