Beda dengan lainnya, Fajar membuat editing visual liputan kampanyenya dalam bentuk split. Antara narasumber, suasana liputan, dan gaya dirinya ber-live report saat hadir di tengah kampanye Partai Ka’bah.
Ignatius Fajar Santoso tampil di tengah keriuhan kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di Lapangan Giant BSD –orang lain lebih suka menyebut sebagai Lapangan Sunburst.
Rapat akbar partai berlambang ka’bah ini menghadirkan magnet tersendiri dengan orasi Ketua Umum Suryadharma Ali. Jauh sebelum pucuk pimpinan partai yang juga menjabat menteri agama ini didakwa terlibat korupsi haji, tampaknya inilah kegembiraan terakhir SDA –sapaan khas pria Betawi yang dua kali menduduki posisi pembantu presiden di kabinet itu.
http://www.youtube.com/watch?v=-i30iSNOxOg&feature=youtu.be
Gaya Fajar keren, apalagi ia mengemas pasca produksi video liputannya dalam bentuk split/ terus menampilkan dirinya dan suasana kampanye, sehingga visual terasa lebih hidup. Sayang, tangan kirinya yang terus memegang earphone di telinga, menjadi gangguan pemandangan tersendiri. Tapi, bagaimanapun, penampilannya yang berbeda menjadi poin istimewa dibandingkan kemasan pasca produksi mahasiswa lain.
Tak ada simpatisan partai atau tokoh yang diwawancarai, tapi ‘penampakan’ SDA sebagai tokoh ‘prominance’ menunjukkan nilai berita sendiri. Seharusnya, liputan ini bisa lebih optimal jika soundbyte/sound of tape SDA ditonjolkan langsung, dan bukan dalam kalimat tidak langsung yang disuarakan Fajar.
Cerita liputan
Fajar menuturkan, pagi itu (1/4/2014) lapangan Giant BSD terasa sesak. Sejauh mata memandang, lautan hijau para simpatisan PPP membanjiri tanah lapang itu. Kampanye terbuka itu bertemakan “Kembali ke Rumah Besar Umat Islam.
Bersama Reynaldo dan Jason, Fajar menyiapkan “senjata” untuk meliput kegiatan kampanye terbuka tersebut. “Dua kamera DSLR, Tripod, dan alat rekam menjadi amunisi kami. Menjelang siang, panas terik matahari menyengat seluruh tubuh. Namun demikian, hal itu tidak menghalangi kami untuk meliput acara itu,” kenangnya
Mereka mencoba untuk menyelesaikan tugas yang telah diberikan, apapun keadaannya. “Ketika sampai di lokasi, jiwa jurnalis saya diuji, bagaimana memberanikan diri meliput kegiatan partai yang selama ini belum familiar untuk diri saya,” paparnya.
Kendala yang dihadapi mungkin hanya masalah teknis, yakni banyaknya noise atau gangguan yang menghalangi saya untuk mendapatkan suara yang jernih dalam peliputan. Selain itu, tidak adanya alat rekam yang memadai membuat Fajar kesulitan.
Pada dasarnya, kegiatan peliputan disadarinya sebagai sebuah pelayanan terhadap profesi jurnalis. Penyampaian pesan terhadap khalayak menjadi bagian dalam kerangka mewartakan kebenaran. “Semoga profesi jurnalis menjadi sarana bagi saya untuk melibatkan diri dalam tugas pelayanan terhadap sesama,” simpulnya.