Ada dua angle atau sudut pandang di lokasi unjuk rasa. Kurang menyelaraskan gambar dengan pernyataan.
Empat anggota kelompok ini membagi tugas. Stefanny Dwi Retno dan Eunike Linda menjadi duo host di studio. Dengan latar yang bisa dibilang minimalis –suasana kelas- mereka sebenarnya sudah cukup kompak. Sayang, sedikit terganggu dengan mata Eunike Linda yang tak pas menghadap kamera. Pandangannya terlalu mendongak ke atas dan menjadi tak fokus pada arah yang semestinya.
[youtube=http://www.youtube.com/watch?v=o_BubDZv5KE]
Fricillia Basaria yang meliput orasi dan aksi massa di kawasan Bundaran Hotel Indonesia tampil percaya diri. Meski ia keceplosan menyebut, “Mungkin cameraman kami bisa melihat…” Sebenarnya penyebutan cameraman atau camerawoman di dunia industri televisi sebaiknya diganti dengan sebutan lebih netral, misalnya ‘camerapersons’. Sebutan yang tidak bias gender akan sangat membantu, dalam kasus seperti saat ini, semua crew adalah perempuan. Pertanyaan Fricil juga sangat kritis dan penuh konfidensi. “Kenapa yang dipilih kenaikan upah 30 persen? Kenapa yang dipilih angka itu?”
Giliran Diah Permanasari melaporkan pada titik lain, tak kalah menarik. Ia memilih mengambil angle ‘keamanan aksi buruh’. Diah mewawancarai seorang polisi muda –sayang tak disebut pangkatnya, meski jika dilihat tanda di kerah bajunya, Asman ini berpangkat Bripda (Brigadir Polisi Dua).
Visual yang ditampilkan sebagai insert juga keren. Meski seharusnya, diusahakan dipilih gambar yang pas, sesuai yang disampaikan narasumber. Seperti saat Bripda Asman menyebut alat-alat apa saja yang digunakan –dari tameng sampai kendaraan taktis (rantis) alangkah lebih eloknya jika visual yang ditampilkan pun selaras dengan pernyataan narasumber.