Sebagaimana sebuah perjalanan, hidup adalah sebuah proses, bukan hanya hasil. Untuk mencapai tujuan itu, kita kadang mampir ke lokasi lain, dan bertemu orang-orang tak terduga.

Salah satu proses menarik dalam perjalanan dari Jakarta ke Hawaii adalah Tokyo. Ini memang bukan kali pertama saya mampir Narita, satu dari dua bandara di ibukota Jepang itu. Dua tahun silam, dalam perjalanan pulang mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) di US mainland, rute menuju Jakarta juga melalui Narita. Hanya saja, karena saat itu waktu transit amat mepet, tak sempatlah berlama-lama menikmati Narita, yang banyak digunakan untuk melayani penerbangan internasional dari dan ke Jepang. Untuk penerbangan lokal Jepang kebanyakan ada di Bandara Haneda.
Bandara ini amat luas. Konon panjangnya mencapai 4 kilometer dan melayani lebih dari 35 juta penumpang setiap tahunnya. Berbagai restoran tersedia, dengan harga –tentu saja- kelas airport, meski sebenarya tak terlalu mahal jika mengingat Tokyo merupakan salah satu kota termahal di dunia. Bersama dua kawan yang juga menempuh perjalanan menuju Haggai Institute, Hawaii, saya memesan satu paket nasi dan ginger pork ditambah air mineral di Tatsu Japanese Restaurant. Ditambah sebotol air mineral, restoran yang juga menerima mata uang dolar Amerika itu mematok harga 13 USD.
Kalau mau melihat karakter sebuah negara, lihatlah pintu gerbangnya. Ungkapan itu terasa saat menikmati Narita yang berkelas namun tetap bersih. Di antaranya, ada ruangan yang khusus menyediakan tempat shower bagi para penumpang long haul flight. Maklum, Narita merupakan salah satu bandara hub atau penghubung antara benua Asia dan Amerika.
By the way, sungguh sampai saat ini saya tak habis mengerti, apa fungsi para cleaning service baik pria dan perempuan yang kerap berjaga di luar pintu toilet Bandara Soekarno-Hatta? Apakah mereka selalu disiagakan jika ada pengguna jasa kakus merasa kesulitan? Atau di sana untuk menunggu tip?
Kawan Perjalanan

Proses lain yang menarik dalam sebuah perjalanan yakni siapa kawan kita dalam mengarungi muhibah itu. Pesawat All Nipon Airways (ANA) yang membawa dari Soekarno-Hatta ke Narita menempatkan saya duduk bersama Kharisma Filliardi. Pria yang akrab disapa Uli ini berasal dari Magelang, usianya lima tahun lebih muda.
Uli berkarya sebagai kru kabin kapal pesiar Holland America Line. Lulusan Akademi Pariwisata Ambarukmo Yoyakarta ini tengah menuju Seattle, Washington, untuk selanjutnya bertugas selama 40 hari perjalanan dari Amerika, termasuk melintas Los Angeles, San Diego, dan Hawaii, berakhir di Sydney, Australia. “Rata-rata masa kerja di kapal 10 bulan, lalu pulang, libur 4 bulan,” kisah Uli. Sebagai staf housekeeping kapal tetirah, untuk setiap bulan bekerja Uli mengantongi sekitar seribu dolar Amerika.
Penumpang kapal pesiar mayoritas diisi pasangan manusia usia lanjut atau manula. Mereka yang ingin menghabiskan hidupnya dengan quality time bersama pasangan, melihat sisi lain dunia. “Sekali transit di sebuah kota bisa beberapa hari untuk menikmati aneka obyek wisata di sana, tapi tetap saja para tamu tidurnya di kapal,” kata Uli, yang kerjanya nyaris tanpa libur selama perjalanan kapal pesiar itu.
Hidup adalah perjalanan. Tergantung bagaimana kita menikmati dan melaluinya.
Mahalo! (artinya terimakasih), salam dari Maui, Hawaii…