Seberapa besar profesi ‘menjadi tentara’ ditanamkan sebagai sebuah kebanggaan pada generasi mendatang?
Hari ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memimpin HUT ke-69 TNI di Surabaya. Tampak sekali ia bangga menjadi inspektur upacara ulangtahun tentara di tahun terakhir kepemimpinannya. Cuit-cuit di twitternya banyak bercerita tentang acara itu. Maklum, SBY sangat terobsesi menjadi tentara. Anak Raden Soekotjo seorang Danramil berpangkat pembantu letnan satu, SBY mencapai posisi jenderal bintang tiga. Pria kelahiran Pacitan 9-9-1949 ini menangis karena harus berhenti dari karir militer sebelum menjadi KSAD atau Panglima TNI. Bukan karena dipecat, tapi karena menjadi Menteri Pertambangan dan Energi di Kabinet Persatuan Nasional era Presiden Gus Dur. Sesenggukan yang sama juga terdengar dari Sutiyoso, yang gagal meraih pucuk tertinggi tentara karena terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 1997.
Keinginan kuat SBY agar bisa meraih pucuk tertinggi tentara lewat jalur ‘normal’ karir tentara –bukan jenderal bintang empat dan panglima tertinggi karena jadi presiden- diteruskan pada putera sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono, yang kini berpangkat mayor infanteri. Seorang tentara ingin anaknya menjadi tentara dengan karir lebih tinggi, sama seperti banyak dokter lahir dari keluarga dokter. Tapi, di luar urusan silsilah keluarga, seberapa banyak orang di Indonesia ingin anaknya menjadi tentara?
Minggu kemarin, saya menghabiskan hari libur dengan main ke Mall Queen Ka’ahumanu di daerah Kahului, Maui, Hawaii. Satu yang menarik, karena ada counter di sana yang khusus disewa pemerintah Amerika Serikat untuk mempermudah anak muda mendaftar masuk tentara. Negara yang menghapus program wajib militer sejak 1975 ini bahkan memiliki space cukup luas untuk recruiting setiap section tentara di sana: Army, Navy, atau Marine. Ada juga logo atau tagline yang ditulis sebagai penyemangat, bahwa masuk tentara bisa menjadi kebanggaan keluarga.
Untuk sarana informasi bagaimana masuk tentara, situs resmi tentara Amerika, goarmy.com, pun dibuat sedemikian menarik. Beberapa halaman di dalamnya, menampilkan video testimoni mereka yang memilih menjadi tentara. Video yang dikemas sangat humanis itu ada dalam kisah berjudul ‘9 people 1 decision: to join the Army or remain the civilian’.
Tentara bisa menjadi pilihan profesi yang sangat membanggakan. Jangan bicara jauh dari keluarga. Jangan bicara pendapatan jauh dari memadai. Jangan bicara nyawa menjadi taruhan. Kalau negara sudah memanggil, pilihan menjadi penjaga bangsa adalah sebuah kehormatan besar.
Pertanyaannya, bagaimana negara mengemas panggilan, dan menjaga reputasi profesi tentara?
Salam dari Maui, Hawaii…