Dua tahun berkutat menjadi produser dialog KompasTV, banyak cerita bisa dibagi. Ini tentang bagaimana saat seorang produser dialog memiliki akses khusus dengan pejabat. Tapi, bukan berarti status lekat lantas menjadikan jurnalis tak kritis setelah dekat.
Bayangkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok berdiri ke tempat kita duduk, lalu memotret kode barcode PIN (Personal Identification Number) telepon pintar kita. Itulah cara Ahok menambahkan orang lain sebagai jaringan teman dalam grup percakapan Blackberry-nya. “Begini saja lebih mudah, langsung terkoneksi kita. Daripada add PIN secara manual, nanti malah pending terus,” ungkap Gubernur DKI Jakarta itu.
Beberapa kali makan siang dan sore di ruang kerja Ahok, menunjukkan pria kelahiran Belitung Timur, 48 tahun lalu itu bukan tipe pejabat yang suka jaga image. Dari sebuah smartphone yang disebutnya sebagai HP operasional wakil gubernur, Ahok menunjukkan foto-foto kiriman warga yang mengeluhkan buruknya kondisi tempat tinggal mereka. “Nah, kalau mau kirim foto kayak gini, tidak usah ditulis kolom komentarnya. Biar enak kalau saya share meneruskan ke pejabat lain,”
Berbincang bersama Ahok sambil santap siang atau sore bukan untuk keperluan pengambilan gambar atau wawancara khusus. Sekadar menjalin hubungan baik, semabari mencari-cari informasi yang kadang tak muncul di permukaan berita media. Temannya: nasi putih beberapa kepal, ikan gurame lengkap dengan sambal dan kecapnya, sayur bayam, dadar telor, ayam pop, serta irisan semangka, pepaya, dan jeruk sebagai hidangan penutup. Masing-masing dikemas dalam mangkuk putih kecil tertutup dalam plastik steril. Khusus untuk Ahok, disiapkan khusus nasi merah.
Pernah dalam sebuah janji makan siang, Ahok datang terlambat. “Bapak masih di luar kantor, silahkan menunggu di ruang tamu,” kata stafnya, saat tamu kami sudah membuat janji dan terdaftar secara khusus. Sejam kemudian, tergopoh-gopoh Ahok masuk, dan mempersilahkan kami masuk ke ruang makan. Ia minta maaf karena harus menunggu operasi ibunya di sebuah rumah sakit di Jakarta Utara.
Nasehat Jokowi pada Einzel
Ahok dan Jokowi punya satu persamaan: mereka dilahirkan sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyatnya. Tak perlu jaim, dan tak perlu ragu menyapa mereka yang baru kali pertama bertemu.
Suatu sore, pada sebuah pertemuan yang direncanakan, di sebuah restoran oriental di Jakarta Pusat. Akhirnya, Jokowi datang juga. Setelah pertemuan kelar, dan ia buru-buru harus kembali ke Taman Suropati, calon presiden itu sempat menyentuh dan menyapa Einzel. Bahkan, delapan bulan kemudian, ketika blog ini saya tulis, Einzel masih hapal benar kalimat yang disampaikan Jokowi saat itu, “Semangat belajarnya. Belajar yang pinter, ya…”
Dekat dengan pejabat bukan berarti kemudian tidak kritis. Dekat dengan pejabat bagian dari bekerja. Bisa berakrab pada momen yang orang tak biasa hadir, itulah bonusnya.