Buruh Bukan Budak!

Liputan aksi May Day dipersiapkan dengan cermat, baik eksekusi di lapangan, maupun taping di studio, serta proses pasca produksinya. Sayang, ‘dirusak’ oleh masalah-masalah kecil.

Ada ungkapan, kita jatuh bukan karena batu besar, tapi karena kerikil atau batu sandungan kecil-kecil, baik yang terletak di jalan, maupun yang mengganjal di sepatu kita. Pun demikian dengan karya Steven Hartoyo, Dea Andriani, Kurnia Boru, dan Olive sebagai materi Ujian Akhir Semester mata kuliah Jurnalistik Televisi Universitas Multimedia Nusantara (UMN).

Mereka memilih lokasi studio yang keren, dengan split dua titik bagi reporter menyampaikan laporan langsung perkembangan aksi unjuk rasa, yakni di Bundaran Hotel Indonesia, dan kawasan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Bumper ‘Redaksi 10’-nya pun dibuat sangat ‘menjual’ dan ‘teve banget’.

Sayang, ada kesalahan-kesalahan kecil di luar keluarbiasaan mereka. Dari sudut pengambilan gambar, saat kamera beralih dari studio menuju reporter lapangan (dalam hal ini Dea dan Steven) pergantian gambarnya tampak amat kasar. Perlu belajar lebih rapi dalam teknis zoom-in dan zoom-out pada urusan pascaproduksi (editing).

Sisanya, benar-benar hal kecil tapi mengganggu. Munculnya CG cukup rajin, apalagi disertai running text serta jam penunjuk waktu terkini, membuat video mereka memiliki nilai tambah. Hanya, banyak belajarlah lagi pada aturan kebahasaan. Dalam penulisan judul, dalam hal ini CG, setiap kata harus diawali huruf besar. Demikian pula untuk penulisan nama organisasi, AJI, bukan Aji –sebagaimana nama orang.

Untuk akurasi narasumber pun, kelompok ini harus lebih banyak cermat, riset, serta check and re-check. Nama narasumber yang mereka wawancarai yakni Luviana, seorang jurnalis dan perempuan aktivis (lihat berita di tautan Demo mendukung Luviana). Sama sekali bukan Lutfi, sebagaimana tertera dalam CD. Bahkan, sebenarnya mereka mengenali Luviana ini sebagai tokoh dalam film ‘Di Balik Frekwensi’.

Selain itu, wawancara jangan terlalu panjang. Sekali lagi, jangan terkesima pada narasumber, siapapun dia. Sedapatnya, potong di lokasi jika memungkinkan. Tapi, jika saat ngobrol dirasa terlalu asyik memotong, baiknya selesaikan dalam proses pascaproduksi. Dalam pengambilan gambar, saat mewawancarai narasumber, jangan terus terpaku menampilkan gambar reporter dan narasumber (two shots atau group shots), beralihlah ke one shot, saat narasumber menjadi fokus.

Pemilihan kalimat mana yang dipakai CG untuk menerangkan situasi juga harus menjadi perhatian tersendiri. Ditemukannya (dalam visual) spanduk bertuliskan: Buruh Bukan Budak, selayaknya menjadi sorotan tersendiri, baik dalam naskah live, ataupun CG.

Pengalaman liputan

Semangat meliput aksi May Day. Berjalan kaki mengikuti keramaian massa.
Semangat meliput aksi May Day. Berjalan kaki mengikuti keramaian massa.

Mereka tampak bersemangat saat melewati hari libur 1 Mei menuju pusat kota, meski harus berganti berbagai moda transportasi. “Kami sempat terpencar beberapa kali, sampai akhirnya ketika kembali berkumpul, kami bergegas untuk membagi tugas di saat itu,” kenang Olive.

Karena kamera yang dimiliki oleh kelompok hanya satu, mereka emutuskan agar Steven mengambil footage, Dea ditemani Angel mencari informasi kepada kepala aparat aeamanan yang bertugas mengenai jumlah bus dan informasi lainnya, serta dan Olive menyiapkan pertanyaan untuk tayangan vox pop. Mereka berkisah, saat wawancara dan meliput aksi Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sangat terbantu dengan peran Anita Rachman alias Ara, seorang pengurus AJI Indonesia.

Setelah puas dengan live report, mereka pun memuaskan diri berfoto sebelum kembali kembali ke stasiun dan mengambil kereta ke arah Rawa Buntu, Tangerang. “Sungguh kaki kami ingin putus rasanya, namun semua hal itu terbayar dengan pengalaman yang sungguh menyenangkan. Rasanya kami ketagihan dan ingin melakukan liputan semacam itu lagi,” papar Dea, Olive, Kurnia, dan Steven.

Leave a Reply

Your email address will not be published.