Meliput aksi buruh pada May Day 2015 di Gelora Bung Karno, mereka menampilkan berbagai visual menarik. Sayang, momen penting justru ambil dari youtube.
Liputan ini juga prasyarat Ujian Akhir Semester mata kuliah Jurnalistik Televisi Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Ngesti Sekar, Octi Sundari, Ardila Putri, dan Nada Nisrina memilih topik kemeriahan May Day sebagai latar mereka melakukan live report.
Di antara berbagai pilihan lokasi yang ada, mereka mengambil kawasan Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, yang marak dengan aksi teatrikal, sampai rapat akbar dengan mengundang tokoh internasional. Tapi, sayang, saat acara besar di GBK yang menghadirkan Sekjen Konfederasi Serikat Buruh Dunia Sharan Burrow, mengapa tak ada visual langsung orasi perempuan asal Australia itu, dan justru mengambil dari youtube. Apakah karena gambarnya terlalu jauh (kecil), atau ada alasan lain.
Variasi gambar yang menarik, diawali dengan aksi teatrikal dengan natural sound memukau, menjadi ‘jualan’ tersendiri liputan ini. Masukan saja, pada paska produksinya, kurang telaten menampilkan CG alias teks di layar, sehingga pemirsa menjadi terbantu mengikuti konten peristiwanya.
Dalam pengambilan gambar, sebaiknya posisi Ngesti saat on-cam diatur lebih ‘centre’ dan tak condong terlalu ke kanan. Saat wawancara, atas nama kesejajaran jurnalis dan narasumber, jangan menggunakan kata ‘Bapak’ –kecuali mungkin ia pejabat amat terhormat- lebih elegan pakai sapaan nama langsung atau ‘Anda’.
Wawancara juga jangan terlalu panjang dan jangan terpukau kepada penampilan atau perkataan narasumber, beranilah memotong narasumber bila dirasa terlalu melebar poin yang disampaikan. Tapi, salut juga dengan tim ini, saat Ngesti tetap bertahan menuntaskan wawancara meski hujan deras mulai mengguyur GBK. Seolah-olah benar-benar live yang tak bisa diinterupsi!
Kendala dan solusi
Tim peliput berkisah, meski aksi di GBK berlangsung usai Salat Jum’at, setelah unjuk rasa di Sudirman -Thamrin, mahasiswi ini sudah hadir di kawasan Senayan sejak pukul 8 pagi.
Begitu masuk ke dalam lapangan Gelora Bung Karno, mereka merasa sangat gembira, karena tak satu pun teman-teman dari UMN berhasil masuk ke dalam. “Kami merasakan suasana gemuruh lautan manusia yang saling bersahutan satu sama lain,” kata Okti mengisahkan ‘akses khusus’ yang didapatnya.
Dalam peliputan ini, mereka menggunakan dua buah kamera DSLR untuk mengambil gambar, dua buah tripod untuk menjaga kestabilan pengambilan gambar, dan sebuah smart phone untuk merekam suara. “Sebelumnya kami sudah mencoba meminjam mic recorder di kampus, namun sudah kehabisan,” tambah Nada.
Dengan alat seadanya, mereka pun berusaha mengambil gambar sebanyak mungkin dan mencari moment terbaik. Angle yang dipilih yakni antusias para buruh yang menyuarakan aspirasinya, dari berjalan kaki menuju Stadion Gelora Bung Karno, teatrikal , sampai pembacaan sepuluh tuntuan buruh di Stadion Gelora Bung Karno.
Ada kendala pada memory kamera yang terbatas. “Pada saat ingin mengambil moment tertentu kami terpaksa harus menghapus rekaman yang kami anggap kurang penting,” kisah Ardila. Di samping itu, mereka juga mengalami kendala pada baterai kamera. Ketika sampai di samping panggung, salah satu kamera mati. Terpaksa hanya menggunakan satu kamera.
Pengalaman juga terjadi saat hendak live on tape (LOT) di sekitar panggung, mereka kehilangan target narasumber pertama yang memberikan akses masuk ke dalam stadion. Narasumber pun diganti mewawancarai Humas FSPMI yang mereka anggap cukup relevan berbicara tentang buruh.
Pesan penting dari kisah mereka: keterbatasan boleh ada, tapi janganlah membuat eksekusi kemudian jadi terbatas. Juga saat ada kendala yang tak diduga. Berpikir cepat adalah solusi, agar target tetap terealisasi. Salut!