Fokus pada Angle, Fokus pada ‘Serbet’

Pilihan kelompok ini untuk memilih satu angle dan ‘bermain’ secara khusus di wilayah itu merupakan keputusan bijak. Seharusnya bisa lebih dipertajam lagi di angle itu.

Dalam pengerjaan take home test Ujian Akhir Semester mata kuliah Jurnalistik Televisi Universitas Multimedia Nusantara, Nissy Ariana Meinard, Felysia Agustin, Cliff Anselimus, dan Irene Sonia memilih satu kelompok khusus yang disorot dari ribuan peserta aksi Hari Buruh 2015.

Liputan May Day. Keterbatasan alat bukan masalah.
Liputan May Day. Keterbatasan alat bukan masalah.

Sedikit ‘kepleset lidah’ saat anchor Nissy menyebut Komite Aksi Perempuan sebagai “Salah satu partai buruh…”. Mungkin lebih tepat disebut sebagai “Salah satu elemen atau kelompok buruh yang ikut dalam aksi ini…” Tapi, pilihan mereka untuk stay focus pada kelompok ini sudah tepat. Angle atau sudut pandang pemberitaan mereka menjadi lebih tertata.

Meski demikian, dalam durasi paket berita yang memang tidak boleh terlalu lama tapi harus menanamkan pesan kuat kepada pemirsa, semestinya mereka bisa lebih mempertajam pilihan angle itu. Dalam liputan mereka terhadap tuntutan KAP, terlihat dua pesan utama yakni penoilakan hukuman mati –terutama dalam kaitan eksekusi Mary Jane- serta aksi membeber serbet raksasa guna memperjuangkan kepentingan pembantu rumah tangga.

Dua isu yang memiliki pesan kuat dan visualnya pun sama-sama “nendang”, yakni gambar adegan teatrikal hukuman mati serta lap raksasa dibentang di kawasan Thamrin. Baiknya pilih salah satu, dan lebih fokus saat menanyakan topik itu ke narasumber. Kalau bicara eksekusi mati, pertanyaan harus tajam atas argumentasi penolakan, sementara hukum positif/KUHP Indonesia mengakomodasi hukuman mati. Sebaliknya, kalau bicara perjuangan pengesahan Undang-Undang Pekerjaan Rumah Tangga, tegaskan, apa pentingnya undang-undang itu, apa masalah PRT saat ini, bagaimana batasan antara UMR dan upah yang mereka terima, dan lain-lain. Karena banyaknya item yang bisa ditampilkan, tak semuanya harus terangkum dalam wawancara dengan narasumber, tapi bisa juga dikemas dalam grafis, misalnya berjudul “Masalah-masalah PRT di Indonesia”.

Sisanya, adalah persoalan teknis. Video liputan ini kurang disertai CG –character generator alias teks di layar untuk menjelaskan isi berita- yang memadai, serta ada masalah dalam sinkronisasi antara audio dan visual yang muncul di layar. Penyempurnaan dalam proses pasca produksi menjadi kata kunci solusi.

Proses liputan

Buruh dan atribut demo. Jeli menemukan angle menarik,
Buruh dan atribut demo. Jeli menemukan angle menarik,

Kelompok ini berkisah, 1 Mei 2015 adalah hari di mana hidup mereka memiliki cerita yang baru dan tak sabar diceritakan kepada teman, keluarga, dan juga anak-anak nanti.  Mengapa memilih topik hari buruh ketimbang konser Super Junior? Karena sebelumnya pada tugas yang pertama kami telah mengambil topik konser, yaitu konser One Direction. “Kami satu hati untuk memilih topik May Day karena menurut kami ini merupakan sesuatu yang baru dan pastinya prosesnya akan lebih menantang,” kata Felysia.

Nissy memaparkan, ada stigma yang telah tertanam yang membuat mereka merasa was-was dan mengkategorikan pemberitaan mengenai May Day menjadi suatu hal yang menantang. “Sedari dulu orang tua kami akan was-was dan melarang kami untuk keluar rumah selama demo berlangsung terlebih lagi demo yang memiliki massa yang besar seperti peringatan Hari Buruh,” katanya. Dari sini, mereka merasa May Day akan menjadi suatu hal yang memacu adrenalin dan medannya menawarkan tantangan yang lebih menarik ketimbang peliputan konser.   ternyata kami lapar. Semangat yang menggebu di pagi hari benar-benar hampir membuat lupa untuk kami berpikir tentang makan! Lalu, sembari menunggu Cliff kami membeli makan di Lawson.

Bermobil menuju Blok M Square, mereka beralih menggunakan Transjakarta ke lokasi aksi. Di tengah ramainya suasana demo, mereka melihat sesuatu hal yang menarik perhatian saat sampai di area Bundaran Hotel Indonesia. “Kami melihat sekumpulan buruh yang mengenakan atribut-atribut seperti topi anyaman dengan tulisan ‘cuti haid’ dan ada gimmick yang menyerupai tiang gantungan. Kami pun mendekati mereka,” kisah Irene.

Mereka pun mengetahui bahwa para demonstran ini memfokuskan tuntutan mereka untuk buruh-buruh wanita. “Setelah melihat keadaan yang ada di sana, kami merasa bahwa hal ini layak untuk diangkat. Dengan sigap, kami pun menyiapkan peralatan untuk mulai merekam situasi kala itu,” tambah Cliff.

Aksi damai para buruh. Menghapus stigma rusuh.
Aksi damai para buruh. Menghapus stigma rusuh.

Felysia mengeluarkan kamera SLR Sony Alpha 65-nya dan mulai belanja gambar, Irene dengan kamera Canon 600d nya dan mulai mengambil gambar bersama Cliff, sementara Nissy bertugas mencari koordinator dari aksi demo, sampai mereka bertemu Tyas yang berasal dari Komite Aksi Perempuan.

Lalu, wawancara pun dimulai. Felysia yang hari itu bertugas sebagai reporter memulai memberikan pertanyaan kepada Tyas. Fely menggunakan handphonennya sebagai alat perekam suara. “Kami tidak menemukan pinjaman voice recorder setelah mencoba meminjam ke sana-sini,” papar mereka. Cliff bertugas memegang kamera dan beruntung kami mendapat pinjaman tripod sehingga gambar yang diambil stabil. Lalu Nissy dan Irene bertugas mengawasi lalu lalang demonstran di sekitar area wawancara agar tidak terjadi kejadian in-frame yang tidak dibutuhkan.

Setelah selesai take reporter, kami pun melanjutkan proses belanja gambar. Dengan sigap, Irene dan Cliff mengambil gambar bersama-sama. “Kami diuntungkan dengan postur tinggi badan mereka berdua. Mereka dengan mudah mengambil view yang bagus tanpa terhalang orang lain,” kata Fely. Saat Cliff dan Irene mengambil gambar, Nissy dan Felysia melanjutkan belanja gambar di sudut yang lain.

Kendala yang ada mereka atasi bersama. Misalnya, tak ada clip-on, diganti dengan alat perekam dari telepon seluler. Mereka bersyukur, kekompakan kelompok terjaga dalam serangkaian kegiatan, dari perencanaan, eksekusi, hingga pascaproduksi.

Leave a Reply

Your email address will not be published.