Setiap ada problem di Tanah Papua, entahlah itu penembakan, kerusuhan antar umat, atau perselisihan sumber energi, seringkali penyelesaian hanya lewat adu bicara di layar talk show televisi atau seminar. Akar permasalahan harus ditengok lebih cermat.
http://www.youtube.com/watch?v=zWOG3PlVeSE
Di studio sebuah stasiun televisi di Jakarta –yang seperti tanpa henti mem blow- up pasca insiden di Kabupaten Tolikara- seorang pemuka asal Papua berucap dengan berapi-api, “Yang penting itu adat. Sebelum ada pemerintahan ada gereja, dan sebelum ada gereja, adat sudah ada terlebih dulu…”
Adat dan Papua. Itulah yang coba digambarkan Ari Sihasale lewat film ‘Di Timur Matahari’ (2012). Sediakan waktu tak sampai dua jam menonton film ini secara utuh, maka Anda yang belum pernah sekali pun menginjak Tanah Papua akan mendapat gambaran, seperti apa problem-problem mendasar yang dihadapi saudara-saudari kita di ujung timur Indonesia.
Masalah paling awal, sekaligus paling mendasar, tentulah persoalan pendidikan. Diceritakan, Mazmur, Thomas, Yokim, Agnes, Suryani dan kawan-kawan setiap pagi melihat langit, berharap ada pesawat datang membawa guru pengganti setelah enam bulan tak ada guru di sekolah mereka. Yang ada kemudian adalah kekecewaan. “Guru pengganti belum datang, kita menyanyi saja”. Selalu kalimat itu keluar dari mulut Mazmur, yang dimainkan dengan cemerlang oleh Simson Sikoway hingga bocah Sorong itu diganjar penghargaan Pemeran Anak-anak Terbaik dalam Indonesian Movie Awards (IMA) 2013.
Tak ada guru, tak ada pelajaran berkesinambungan di Bumi Cenderawasih. Maka tampillah Ririn Ekawati menjalankan peran sebagai dokter Fatimah. Ia pun spontan mengumpulkan anak-anak yang sekolahnya terbengkalai itu dengan soal cerita. “Ada sepuluh buah pisang, dimakan empat, sisanya tinggal berapa?”
Thomas, salah seorang bocah, merespon, “Bu dokter, saya boleh tanyakah? Sepuluh pisang itu masak belum? Kalau su masak, kami makan semua. Tidak ada sisa, toh?”
Masalah lain ya soal hukum adat itu. Meski, setidaknya lewat dua case dalam film ini, sebenarnya hukum itu tak kaku-kaku amat. Bocah tertabrak motor, mengharuskan penabraknya membayar denda adat Rp 50 juta, yang kemudian diselesaikan Agus Ringgo (bermain sebagai Ucok, pemborong proyek jalan) dengan lima lembar seratusan ribu. Pada kasus lain, kematian seorang tokoh kampung menuntut denda adat Rp 3 milyar, yang bahkan penuntutnya tak paham ada berapa nol dalam bilangan 3 M itu. Karena denda tak bisa dipenuhi, perang suku menjadi jalan keluar.
Kebun belakang kita
Papua adalah Indonesia, yang meskipun ada di kebun belakang, juga bagian dari rumah kita. Yang kadang membuat berbeda dari bagian lain Indonesia, persis seperti dibingungkan Laura Basuki kala berada di sebuah toko pracangan di pedalaman Papua. Berperan sebagai Vina, perempuan Jakarta bersuamikan lelaki Papua, ia takjub mengetahui belanjaannya harus dibayar Rp 3,8 juta, dengan alasan barang-barang dicarter pesawat. Rinciannya antara lain, minyak goreng 10 liter seharga Rp 350 ribu dan beras 2 karung Rp 1,8 juta. “Gimana nggak pada minta merdeka?” desah lirih Vina.
Mata ganti mata, gigi ganti gigi. Ungkapan dalam Perjanjian Lama yang menegaskan balas dendam atas setiap hilangnya nyawa membuat lingkaran setan perang suku tak pernah berakhir. Pendeta Samuel (dimainkan Lukman Sardi jauh sebelum gosip seleb terkait keyakinan personalnya jadi buah bibir) dan Michael (pria Papua modern diperankan amat gemilang oleh finalis Indonesia Idol Michael Jakarimilena) tak bisa mengekang kehendak kolot rakyat adat.
Dalam joking terkait nama-nama mata pelajaran, anak-anak itu berseloroh jangan menyebut subyek PMP. “Papua Makan Papua!” Lalu yang lain pun tertawa lebar. Belum ada solusi nyata, meski otonomi daerah telah berjalan lebih dari satu dasawarsa.
Papua adalah saudara kita. Ada kurang, ada lebihnya, mereka tetaplah saudara. Mereka harus dibanggakan, sebagaimana orang Papua itu terus bangga dengan diferensiasinya, menyenandungkan lagu ciptaan mendiang Franky Hubert Sahilatua…
“Tanah Papua tanah yang kaya
surga kecil jatuh ke bumi
Seluas tanah sebanyak batu
adalah harta harapan
Hitam kulit keriting rambut Aku Papua
Hitam putih keriting lurus Aku Papua
Biar nanti langit terbelah Aku Papua…”