Mudik dan Gambaran Ketimpangan Jawa Non-Jawa

Banyak pelajaran bisa dipetik dari tiap berlangsungnya musim arus mudik dan balik. Salah satu di antaranya, soal jargon ‘pembangunan’ di Indonesia yang masih saja berat sebelah.

Antrean di exit Tol Cikopo. Jawa jadi ekspos besar pantauan arus mudik dan balik Lebaran.
Antrean di exit Tol Cikopo. Jawa jadi ekspos besar pantauan arus mudik dan balik Lebaran.

Tak seperti beberapa Lebaran sebelumnya, tahun ini kami sekeluarga mengikuti ritual kultural mudik dan balik, sebagaimana dihelat jutaan orang negeri ini. Setelah tiga hari raya Idul Fitri ‘pass’ ke Yogyakarta sejak kehadiran anak kedua, kali ini kami mengikuti agenda sebagian besar penduduk Indonesia. Termasuk di dalamnya, acara bermacet-macet di jalan secara ‘brutal’. Ada yang menyenangkan juga dari sisi sampingan perjalanan super panjang 25 jam arus balik Yogya ke Tangerang, kami bisa menyaksikan spot-spot yang jarang terlintas di kepala: Kebumen, Wangon, Lumbir, Sumpiuh, Majenang, sampai ‘terbuang’ ke Majalengka.

Tapi, apa yang sebenarnya bisa dipelajari dari peristiwa yang terus terulang dan diulang setiap tahun secara ‘menjemukan’ itu? Salah satu garis besarnya adalah disparitas pembangunan negeri ini.

Mengapa dibilang membosankan? Karena liputan arus mudik dan balik, yang ditandai dengan special report televisi sebagai media paling menyedot perhatian massa paling besar, ya itu-itu saja. Liputan umumnya ditempatkan di titik-titik padat pemudik: jalur Jawa bagian selatan di Cileunyi hingga Nagrek Jawa Barat, titik utara Jawa dari Simpang Jomin Karawang –mulai tahun ini berganti ke pintu tol Cikopo sampai Palimanan- Cirebon, dan Brebes, serta titik penyeberangan di Pelabuhan Merak, Banten.

Kunci Indonesia bukan hanya di Jawa

Papan peringatan di jalur arus mudik Pantura. Terfokus di Jawa.
Papan peringatan di jalur arus mudik Pantura. Terfokus di Jawa.

Jarang sekali kawasan sentra pemudik di luar Pulau Jawa mendapat ekspos besar seperti titik-titik lain. Kalaupun ada televisi atau media lain memberi ‘bonus’ titik berbeda, live report atau tulisan khusus biasanya hadir dari Bandara Sultan Hasanudin Sulawesi Selatan atau Bandara Sultan Aji Muhammad Sepinggan di Balikpapan, Kaltim. Itupun yang banyak disorot juga terkait arus kedatangan dan kepergian warga dari dan ke Jawa. Sementara rute mudik lain yang tak ‘melibatkan’ orang Jawa seperti tak tersentuh sama sekali, misalnya dari Kendari ke Makassar, Ternate ke Ambon, Padang ke Pekanbaru, atau spot-spot lain nan terpinggirkan.

“Djawa adalah koentji, Jawa adalah kunci...” Kalimat ini diucapkan dengan tegas oleh mantan wartawan Tempo (alm.) Syubah Asa saat memerankan tokoh PKI Dipa Nusantara Aidit dalam film Pengkhianatan G30S/PKI (1984). Pendek namun penuh arti, kalimat yang dicetuskan di akhir rekaan rapat PKI dalam film itu mengisyaratkan pentingnya penguasaan pulau Jawa untuk menguasai Republik Indonesia sepenuhnya.

Pulau Jawa memegang peranan penting perekonomian negeri ini. Menteri Perhubungan Ignasius Jonan menyatakan, jumlah pemudik 2015 dapat menembus angka 20 juta orang, yang tentu sebagian besar berputar-putar di kota dan udik di Jawa. Perputaran uang pemudik yang dibelanjakan untuk kebutuhan Lebaran diperkirakan Rp 125,2 triliun, dengan sebagian besar ditengarai habis untuk belanja konsumtif. Lagi-lagi patut dicatat, dana hampir sepersepuluh pendapatan negara dalam APBN 2015 itu sebagian besarnya muter di kantong dan pasar Pulau Jawa. Termasuk di antaranya, petani yang mendadak jualan mie rebus di tol darurat Pejagan-Brebes Timur dan bersuka karena ‘panen’ jutaan rupiah per hari pada masa arus mudik-balik. Sebaliknya, pemilik warung di sepanjang Pantai Utara Karawang-Indramayu mendadak lemes dengan hadirnya tol Cikopo-Palimanan.

Arus Mudik dan arus balik, sekali lagi menegur kita, bahwa sesungguhnya Indonesia itu (sebaiknya) bukan hanya Jawa…

Leave a Reply

Your email address will not be published.