‘Skandal’ pertemuan antara pimpinan DPR dan Donald Trump muncul pada saat yang tepat. Jadi adu kelihaian komunikasi politik.
Donald John Trump baru saja menyelesaikan sesi orasi di depan pendukungnya di Trump Plaza, New York. Secara resmi memang kegiatan itu belum disebut sebagai sebuah kampanye, karena jangankan masa kampanye, penetapan calon dari masing-masing partai pun belum mengerucut. Acara formalnya, pengambilan sumpah kesetiaan Trump kepada Partai Republik. Setelah sesi formal kelar, pria 69 tahun yang kondang sebagai raja real estat itu meninggalkan panggungnya. Tapi, tak sampai setengah menit, ia berjalan kembali. Khusus untuk mengenalkan tamunya dari Indonesia, yang sejam sebelumnya berbincang bersama di lantai 26 di gedung yang sama.
“Pria ini Ketua DPR Indonesia, datang ke sini untuk bertemu saya. Setya Novanto, salah satu orang paling berpengaruh dan sosok yang besar,” kata Trump kepada para jurnalis seperti dikutip dari Business Insider, (4/9).
“Dia dan rombongannya ke sini untuk bertemu saya hari ini dan kami akan melakukan satu kegiatan besar untuk Amerika Serikat, begitukah?” kata Trump kepada Setya, politikus Partai Golkar.
“Yes,” Setya menjawab. Trump melanjutkan pertanyaannya, “Apakah orang di Indonesia menyukai saya?” Setya menjawab singkat, “Yes, highly.”
Memantik polemik
Sontak, ‘penampakan’ pimpinan DPR di belakang Trump mengundang polemik besar di tanah air. “Ah, di Indonesia kan semua hal bisa jadi kontroversi,” kata Wakil Ketua DPR Fadli Zon kepada CNN Indonesia TV dalam wawancara live lewat sambungan internasional dari New York. Fadli, bersama Setya dan Wakil Ketua Komisi VII DPR Satya Widya Yudha, kedapatan ikut berbaris di belakang Trump pada acara itu.
Selain Fadli yang tampil di berbagai live by phone dan skype ke beberapa stasiun televisi di Jakarta, siaran pers dari Setya Novanto yang dirilis Staf Khusus Ketua DPR bidang Komunikasi Politik Nurul Arifin, yang juga ikut pada acara itu, berupaya meredam situasi. “Setelah bertemu di lantai 26, delegasi diajak turun ke lantai dasar melihat konferensi pers. Sebagai orang Timur yang memiliki kesantunan, pimpinan memenuhi ajakan tersebut. Jadi, bukan sebagai bentuk dukungan politik,” kata Nurul dalam keterangan persnya.
Tapi, kehadiran pimpinan parlemen di belakang bakal kandidat presiden negara lain menimbulkan banyak interpretasi. Apalagi, jadwal pertemuan mereka di luar agenda resmi delegasi yang dibiayai negara. Politisi PDI Perjuangan, PPP hingga Partai Demokrat ramai-ramai mengecam ‘posisi’ Setyo Novanto dan Fadli Zon. Menurut Edhie ‘Ibas’ Baskoro Yudhoyono, kehadiran pimpinan DPR dalam acara Trump tidak tepat. “Dalam logikanya, pimpinan DPR adalah pimpinan bagi seluruh tanah air,” kata Ibas, dikutip Kompas (7/9).
Yang paling garang tentu politisi PDI Perjuangan. Sejak Sabtu (5/9) mereka sudah menggelar jumpa pers khusus mengecam skandal Trump itu. Tak tanggung-tanggung, bola liar bergulir hingga ke urusan kocok ulang pimpinan DPR.
“Kehadiran Setya Novanto (dalam kampanye Trump) sangat menyakitkan, mengotori DPR RI,” kata Adian Napitupulu, legislator PDI Perjuangan. Adian meminta Mahkamah Kehormatan Dewan responsif menyelidiki motif kehadiran Novanto dan Fadli dalam kampanye Trump di AS. Adian khawatir ada kesepakatan tertentu antara kedua pimpinan DPR itu dengan Trump.
“Tidak bisa dipungkiri langkah kedua pimpinan DPR itu tidak menguntungkan Indonesia dan implikasinya sangat berbahaya. Sebaiknya keduanya di-nonaktifkan dari jabatannya,” ujar Adian.
Tak kurang, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana juga mempertanyakan sikap pimpinan DPR yang bertemu Donald Trump. Terlebih lagi, dalam pertemuan tersebut, Novanto sempat mengklaim bahwa rakyat Indonesia menyukai sosok Trump.
“Jawaban dan kehadiran Novanto, yang diperkenalkan sebagai Ketua DPR, seolah memberi endorsement atas kampanye Trump. Tanpa disadari, Ketua DPR dari sebuah negara besar dengan jumlah Muslim terbesar dan demokratis telah dimanfaatkan oleh Donald Trump,” kata Hikmahanto.
Komunikasi politik menjadi kunci dalam penyelesaian setiap masalah politik. Setiba di Indonesia, maukah pimpinan DPR yang tampil di belakang Trump itu menyampaikan permintaan maafnya secara terbuka, sebagai bentuk komunikasi politik mereka?