Program berita televisi harus dihadirkan penuh kreativitas. Jangan sampai pemirsa menjadi bosan karena tampilan visual monoton, dan berakibat meninggalkan tayangan yang kita suguhkan.
Berbeda dengan kelompok lain dalam tugas akhir mata kuliah Produksi Televisi Universitas Multimedia Nusantara, program berita Mata Indonesia menampilkan kreasi berbeda. Beranggotakan Annisa Rosa, Hendrikus Yohanes, Inka Permata, Benedic Elmo, Rionaldo Timoty, dan Aldy Suharso untuk pengambilan gambar anchor Hendrikus mereka pilih pada lokasi outdoor.
Tema live report yang diambil pun terbilang aktual yakni Pilkada Serentak, dalam hal ini pemilihan walikota Tangerang Selatan. Sebagai variasi dibandingkan ‘televisi’ lain, kelompok ini menghadirkan dua reporter live sekaligus yakni Rionaldo di TPS Rawabuntu dan Inka di TPS tempat Airin mencoblos.
Kreativitas membuat split antara wajah Rio memberi laporan langsung dengan insert suasana terkini menjadi nilai tambah tersendiri. Sayang, pada live report Pilwalkot ini amat minim CG (character generator/tulisan pada layar). Pada live Rio seharusnya bisa saja diisi kalimat seperti ‘Pemilihan Walikota Tangerang Selatan Diikuti Tiga Pasang Kandidat’ dan ‘Beberapa Kandidat Tak Bisa Memilih karena Faktor Domisili’. Saat Rio menyebut nama-nama kandidat yang tak bisa nyoblos, baiknya juga diikuti visual/foto kandidat dimaksud.
Inka cukup percaya diri saat membawakan live report di kawasan Alam Sutera, sayang saat menjelang take wawancara dengan panitia pemungutan suara, ia masih membuka-buka gawainya. Ini pemandangan yang sangat mengganggu, baik bagi pemirsa maupun narasumber. Selain itu, masukan buat para juru kameranya, biasakan saat narasumber bicara, arahkan kamera one shot untuk terfokus pada sang narasumber.
Dialog film tanpa footage film
Pilihan dialog terkait perkembangan film Indonesia amat menarik. Sayang, ada beberapa persoalan teknis saat pengambilan gambar dialog. Misalnya, jarak antar dua kursi yang dipakai duduk host dan dua tamu dialog tampak memberikan ruang psikologis yang amat mengganggu, terlihat saat Hendrikus mengawali dialog dengan bersalaman. Kedua, mengapa membiarkan narasumber memakai kacamata hitam tanpa dilepas? Kecuali narasumber memang berpenampilan alami ala Stevie Wonder, pemakaian asesoris seperti kacamata dan topi kurang elok pada sebuah program berita televisi.
Masukan lain serupa dengan item terdahulu, mainkan pilihan ‘one shot’ dan ‘group shot’ secara bijak. Dialog ini tidak diambil dengan satu kamera, toh? Jadi, saat fokus pada narasumber, sebaiknya kamera menyorot secara khusus pada tokoh yang berbicara. Catatan lain, bukankah kesepakatannya dialog ada pada segmen kedua, sementara segmen pertama hanya fokus pada straight news dan live report? Pengalokasian waktu secara cermat sangat penting, karena bisa mengatur ritme penonton agar tak jenuh mendapat durasi satu segmen program yang terlalu panjang.
Problem lain, nyaris tak beda dengan kelompok lain, dialog ini minim CG –bahkan bisa dibilang tak ada sama sekali- serta tanpa footage film yang memadai. Padahal, bayangkan di antara pembicaraan tiga orang yang kadang tampak membosankan itu, dengan pengambilan gambar amat statis dari satu sudut saja, diisi dengan insert visual potongan film maupun behind the scene yang tengah mereka diskusikan. Tentu penonton akan lebih bisa menikmati apa topik yang dibicarakan dengan visual nampak langsung di hadapan mereka.
Segmen terakhir, yakni feature arung jeram di Caringin, Bogor, sebenarnya oke banget. Disertai sekuence perjalanan ke lokasi, PTC Annisa dan Elmo di depan petugas pendaftaran, penjelasan instruktur dan tentu saja ‘beauty shots’ petualangan di air dengan musik latar yang sesuai. Namun, kekurangannya ya itu tadi, tak ada CG yang menjelaskan setiap sekuence. Bahkan, dalam kaidah hak kekayaan intelektual pun seharusnya ditulis musik latar yang mengiring itu ‘punya’ siapa. Tetap apresiasi untuk perjuangan pengambilan gambar di tengah tingkat kesulitan tinggi kawasan penuh air sepanjang 17 kilometer ini. Meski tampak kameranya ‘bocor’ di layar, hehehe….
Pesan untuk tim yang memproduksi karya ini: belajarlah membuat kreasi dengan menempatkan diri sebagai ‘user’. Dengan memperlakukan diri sebagai penonton, kita akan tahu mana tayangan yang membosankan dan butuh polesan lebih kreatif. Jangan pernah merasa puas dengan apa yang sudah kita hasilkan.