Juru Bicara Jokowi

Hampir satu setengah tahun berlalu, Presiden Jokowi akhirnya menunjuk spokeperson. Pilihannya jatuh pada tokoh kesayangan media yang baru saja ‘tersingkir’.

Johan Budi dan Jokowi. Dua media darling.
Johan Budi dan Jokowi. Dua media darling.

Johan Budi Sapto Pribowo akhirnya harus memilih. Setelah upayanya menjadi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi secara definitif kandas di DPR –hanya beroleh 25 suara untuk memperebutkan lima kursi pimpinan KPK- banyak rumor menyelimuti dirinya.

Bintang Johan sebagai ‘karyawan’ KPK amat bersinar, dimulai dari bagian humas, juru bicara, Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat, Deputi Pencegahan, serta puncaknya diangkat Presiden Joko Widodo sebagai pelaksana tugas Komisioner KPK bersama Taufiequrachman Ruki dan Indriyanto Seno Adji.

Setelah terjegal di parlemen, ada kabar Johan Budi bakal mundur dari lembaga anti rasuah yang menjadi tempatnya bernaung selama sepuluh tahun itu. Ada pula rumor yang menyebut Jobud, panggilan akrab prianya, bakal kembali ke Tempo, media tempatnya berkarya sebagai jurnalis sebelum hijrah ke KPK. Ada juga yang menyatakan sedikitnya dua stasiun televisi siap meminangnya sebagai pemimpin redaksi. Hingga akhirnya, Selasa (12/1) Jokowi resmi menunjuk pria 48 tahun ini sebagai staf khusus, berbaur bersama Tim Komunikasi Presiden, sekaligus menjadi juru bicara presiden.

“Jadi Pak Johan Budi mulai hari ini saya minta untuk membantu saya sebagai staf khusus presiden, karena saya tahu Pak Johan Budi sudah sangat berpengalaman,” kata Presiden Jokowi. Ke depan, menurut presiden, Johan juga akan mengkoordinasi humas kementerian dan lembaga negara agar bisa solid dan satu suara.

Butuh waktu enam belas bulan bagi Jokowi untuk memutuskan memiliki juru bicara dalam pemerintahan. Ini berbeda dengan pendahulunya, Susilo Bambang Yudhoyono, yang dalam dua periode kepemimpinan menyiapkan Andi Alfian Mallarangeng serta Julian Aldrin Pasha sebagai jubir urusan dalam negeri serta Dino Patti Djalal dan Teuku Faizasyah sebagai jubir masalah luar negeri.

“Saya melihat apa yang selama ini menjadi pengalaman saya, as professional saya ya, bukan dari sisi politis, apa yang menjadi pengalaman saya selama 12 tahun lebih menjadi wartawan dan 10 tahun di KPK di mana lebih banyak sebagai jubir,” kata Johan sesaat setelah pengumuman resmi jabatan barunya di Credentials Room, Istana Merdeka.

kolomJohan sosok yang sebenarnya tak banyak bicara. Sebagai redaktur bidang investigasi serta masalah-masalah politik nasional di Majalah, Koran dan Tempo online, ia lebih banyak bekerja dalam analisisnya. Kalau dilanda suntuk, pria asal Mojokerto, Jawa Timur, ini memilih mojok dan menyalakan beberapa batang rokok di teras kantor Tempo di kawasan Proklamasi maupun Kebayoran Baru.

Selain kejeliannya beranalisis, mantan jurnalis Forum Keadilan itu punya skill khusus dalam mengayomi para reporter. Tak heran, dalam setiap angkatan penerimaan jurnalis baru di Tempo, Johan mendapat julukan ‘Ketua Kelas’, sebagai yang dituakan sekaligus mentor tempat bertanya para wartawan pemula. Julukan lain yang melekat padanya yakni ‘Panglima Tertinggi Tempo Newsroom’, sebuah sistem pemberitaan terintegritas di Tempo yang turut dilahirkannya.

Soft skill dekat dengan banyak jurnalis muda ini kemudian dibawanya saat menjadi juru bicara KPK. Johan rutin menggelar diskusi yang digelarinya sebagai ‘pengajian mingguan’, membahas kasus-kasus terkini di KPK. Sebuah warung makan pinggir jalan di sisi Kuningan menjadi tempat pilihan untuk meriung. Sebagai sarana interaksi dengan jurnalis peliput KPK,  lulusan Teknik Gas dan PetrokimiaUniversitas Indonesia ini kadang punya cara unik dalam berkomunikasi: mengumumkan pelaksanaan konferensi pers melalui status Blackberry Messenger.

Kini, Johan sudah melangkah ke kuadran lain dalam hidupnya. Dari jurnalis, dosen, jubir KPK, dan saat ini masuk ‘ring satu’ pemerintahan. Tempat segala kebijakan penting negeri ini digodok dan diputuskan. Tugasnya, menyampaikan hasil rapat kabinet yang seringkali lonjong menjadi terlihat mendekati bulat. Juga menjadi pekerjaannya, menerjemahkan pikiran dan gestur Jokowi menjadi pesan yang lebih dapat dicerna publik.

François-Marie Arouet, seorang penulis dan filsuf Perancis yang lebih dikenal dengan nama Voltaire, terkenal dengan pertanyaan retoriknya,  “Is politics nothing other than the art of deliberately lying?” Di sinilah juru bicara presiden dituntut untuk menyampaikan kebijakan (policy/politics) tanpa harus mengemasnya dalam sebuah kebohongan.

Di sisi lain, Ivy Ledbetter Lee, dikenal sebagai bapak public relations modern, menjelaskan bahwa prinsip public relations yang pokok yakni, “Menyediakan berbagai macam informasi yang cepat serta akurat, khususnya mengenai segala sesuatu yang bernilai tinggi dan menyangkut kepentingan umum sehingga memang perlu diketahui oleh segenap lapisan masyarakat.” Informasi yang di tangannya bisa memenuhi unsur cepat dan akurat, tapi apa benar sudah bernilai tinggi, menyangkut kepentingan umum dan perlu diketahui publik?

Masih ada sisa empat tahun kepemimpinan Jokowi-Jusuf Kalla. Tantangan berat menantinya di tengah hiruk-pikuk politik yang seolah tak pernah ada jeda.  Sebagai jurnalis, profesi yang amat dicintainya dan tak pernah mengenal kata ‘mantan’ itu, pastilah Johan Budi tak akan melupakan pedoman ‘Sembilan Elemen Jurnalisme’ dari duo Bill Kovach-Tom Rosenstiel. Sembilan prinsip sebagai pewarta itu diawali dengan ajaran “Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran”, dan diakhiri dengan prinsip kesembilan, “Jurnalis memiliki kewajiban untuk mengikuti suara nurani mereka”.

Selamat menjalankan amanah, Bung Johan. Selamat menjadi juru bicara yang berpijak pada kebenaran serta mengikuti suara nurani.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.