Masuk ke sebuah peristiwa besar seperti masuk ke hutan belantara yang penuh dengan aneka pohon. Kelompok ini memilih fokus pada satu ‘pohon’: liputan dengan Gerhana Matahari, dengan angle spesifik.
Mereka hanya bertiga – Karisma Indrajayanti, Rio Ebenhezer, dan Jhonathan Areasta- namun bisa memilih topik yang lebih fokus: bagaimana pengunjung Planetarium menikmati Gerhana Matahari dengan sarana sederhana. Tak ada rotan, akar pun jadi. Tak kebagian kacamata gratis, pengunjung Planetarium berkreasi dengan membawa slide bekas rontgen, atau plastik pembungkus air mineral sebagai alat mengintip matahari yang tengah diselimuti bulan.
Bagus sekali liputan yang spesifik pada angle seperti ini. Bisa direncanakan sejak sebelum berangkat ke lokasi, tapi bisa juga menemukan ide yang ‘cling’ saat berada di tempat peristiwa dengan begitu banyak pilihan sudut pandang untuk disajikan ke pemirsa.
Gambar, wawancara maupun shot-shot keren (mengambil deretan mobil Satelite News Gathering televisi dari atas) mempercantik paket liputan berdurasi 3 menit 10 detik ini. Kalaupun ada catatannya, yakni penulisan Chargen yang kurang sering dan beberapa kali di antaranya nampak terlalu kecil (pada penulisan nama narasumber). Selain itu, ide menggunakan musik latar cukup bagus untuk lebih memberi warna pada paket liputan ini. Hanya saja, mereka tak menulis, lagu dan karya siapa yang dipakai sebagai musik pengiring itu Catatan lain, beberapa kali suara musik lebih menonjol daripada voice over pengisi paket.
Menjadi sejajar dengan jurnalis media mainstream
Karisma berkisah, mereka melakukan diskusi dan riset sebelum berangkat liputan ke Jakarta Pusat. “Pada awalnya kami memilih angle mengenai bagaimana cara panitia pelaksana pihak Planetarium sebagai tujuan wisata yang pasti ramai pengunjung saat ada fenomena astronomis seperti ini, menghadapi banyaknya pengunjung serta acara nonton bersama yang mereka adakan. Lebih kepada sisi ketertiban, acara dan lain sebagainya,” paparnya.
Jhonathan menambahkan, di antara banyak orang di Planetarium, tim ini memutuskan untuk mewawancarai tiga narasumber yang memiliki cara terunik dalam melihat gerhana. “Pada intinya kami mencoba untuk ‘belanja’ sebanyak-banyaknya terlebih dahulu sehingga punya banyak bahan pertimbangan saat ‘menjahit’,” kata Jhonathan, juru kamera sekaligus editor.
Rio menuturkan, banyak pengalaman diambil dari liputan di tengah crowded seperti ini. “Kami belajar untuk terjun langsung di dunia nyata sebagai jurnalis di mana kami harus berburu berita dalam sebuah peristiwa penting bersama jurnalis-jurnalis lainnya yang sudah profesional, seperti dari stasiun televisi dan lain-lain,” kenangnya.
Mereka mengakui, awalnya ada sedikit perasaan kurang percaya diri pada awalnya untuk bekerja di lapangan yang sama dengan mereka untuk meliput suatu peristiwa besar. “Jurnalis dari media alat-alatnya canggih beserta kru yang keliatan sangat profesional. Namun, lalu kami membangun percaya diri untuk tidak takut salah, bahwa kami sedang belajar dan harus melakukan yang terbaik,” ungkapnya.
Karisma menekakan, saat peliputan, walaupun belum resmi sebagai jurnalis, kelompok ini menjadi sejajar dengan jurnalis dari media mainstream. “Kami mencoba untuk saling bersosialisasi dengan jurnalis-jurnalis lain. Saat berada di ruang pers, banyak yang bertanya kami dari media apa, dan kami juga tidak malu untuk berkata bahwa kami dari universitas dan sedang mengerjakan tugas. Karena kami di sini untuk belajar menjadi seperti mereka, mereka juga menghargai dan sangat baik,” kisahnya.
Jalan mula sudah terbentang. Mengapa harus minder kalau kemudian bisa menghasilkan karya yang tak kalah keren?