Dalam proses amat cepat, Komisi I DPR memilih sembilan komisioner baru Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Setelah diperas uji kepatutan dan kelayakan dari 27 orang dalam dua hari, Rabu (20/7) ini mereka disahkan dalam rapat paripurna. Mampukah para dewa dunia penyiaran itu menjawab keraguan?
Kesembilan komisioner KPI 2016-2019 ini bak ‘dewa’ yang akan menentukan hitam putihnya wajah penyiaran Indonesia dari pekan depan hingga jelang Pemilu 2019. Sembilan orang terpilih masing-masing Nuning Rodiyah (54 suara, mantan komisioner Komisi Pelayanan Publik Jawa Timur), Sudjarwanto Rahmat (52 suara, petahana KPI 2013-2016), Yuliandre Darwis (51 suara, akademisi Universitas Andalas, Ketua Umum ISKI), Ubaidillah (46 suara, komisioner KPID Jakarta), Dewi Setyarini (45 suara, Direktur Lembaga Penyiaran Publik Lokal Purbalingga, mantan caleg PKB), Obsatar Sinaga (45 suara, akademisi Universitas Padjajaran), Mayong Suryo Laksono (jurnalis), Hardly Stefano Fenelon Pariela (34 suara, mantan komisioner Komisi Pelayanan Publik Jawa Timur), Agung Suprio (24 suara, akademisi Universitas Indonesia).
Tiga orang ditetapkan sebagai komisioner cadangan yakni Mulyo Hadi (23 suara, komisioner KPID Jateng), Surokim (23 suara), dan Ade Bujaerimi (19 suara, komisioner KPID Banten).
Sesungguhnya, tugas komisioner baru ini amat berat. Selain menjaga marwah dunia penyiaran dari perselingkuhan kepentingan pemilik media penyiaran sekaligus politisi, mereka juga harus membereskan persoalan perpanjangan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) 10 televisi swasta. Belum lagi mengawasi konten siaran sesuai rambu-rambu Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran alias P3SPS yang nyaris menyita seluruh waktu para dewa ini.
Mengikuti proses uji kepatutan para calon komisioner, pertanyaan para anggota dewan terkesan ‘unik’ untuk mengetes posisi sepenting ini. “Apa yang menjadi kelemahan Anda?”, “Sebutkan lima calon komisioner selain Anda yang layak dipilih di antara 27 ini? Kalau anda tak jawab pertanyaan ini, pasti tak saya pilih”, “Anda pernah menonton sinetron Super Puber di SCTV?”, “Bagaimana pendapat anda ttg promosi LGBT di tv free to air? Kita tidak bicara filosofi ya…”. Ada pula calon komisioner dicecar pertanyaan terkait status tempat tinggalnya, “Anda mencantumkan alamat rumah di kompleks DPR RI. Anda ini anggota atau bukan?” “Bagaimana Anda berbagi rizki ketika ada stasiun tv yg bermasalah?”
Nada pesimisme
Seusai sembilan nama diumumkan usai rapat tertutup Komisi I, nada kecewa muncul. Salah satunya dari akun @remotivi, sebuah lembaga kajian media dan komunikasi, yang konsisten memberikan live tweet jalannya sidang selama dua hari. Menanggapi komentar, “ Komisioner KPI terpilih mengecewakan” dari @remotivi, praktisi kebebsan pers Asep Komarudin menambahkan,”Jangan berharap akan ada perbaikan dalam penyiaran kedepan. Begitupun Revisi UU Penyiaran sudah kebaca akan ke arah mana.”
Mereka yang terpilih mendapat banyak keraguan. Mulai dari kekhawatiran balas jasa serta kedekatan dengan parpol, petahana komisioner KPI Pusat dan daerah yang prestasinya dipertanyakan, serta banyak nama beken yang justru tak masuk dalam sembilan besar.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengusung tiga nama. Dosen dan peneliti media Ignatius Haryanto, Ketua KPID Jatim ‘Doni’ Maulana Arief, serta aktivis NGO Redemptus Kristiawan. Segala lobi sudah dilakukan, namun yang didapat hanya tiga telur besar di papan skor. Termasuk Ignatius Haryanto, yang presentasinya meyakinkan para penguji, serta mendapat pemberitaan bernada positif dari Harian Kompas pada Selasa (19/7) atau pagi hari sebelum pemungutan suara dilakukan. Ignatius Haryanto menekankan optimalisasi sanksi denda bagi televisi yang terbukti melakukan pelanggaran.
Hary juga menyoroti pemilikan media saat ini, khususnya televisi yang terlalu terkonsentrasi di beberapa pihak. UU Penyiaran telah mengatur dengan detail bagaimana satu orang pemilik atau badan usaha hanya boleh memiliki dua lembaga penyiaran di dua provinsi yang berbeda. Pada praktiknya, kata dia, satu orang bisa memiliki dua sampai empat stasiun TV dalam satu provinsi. “Saya kira masalah utamanya ada di pihak yang berurusan dengan pengaturan undang-undang, dalam hal ini adalah Kementerian Kominfo tidak bertindak dengan tegas. Karena itu momen perpanjangan izin penyiaran seharusnya bisa dijadikan Kominfo dan KPI untuk mengatur ulang hal tersebut,” ujar Ignatius Haryanto dikutip Kompas.
Apapun, Komisi I telah memilih sembilan komisioner terpilih. Publik berharap, dan harus mengawasi secara ketat, mampukah mereka melakukan misi mustahil bak menegakkan benang basah, untuk memperbaiki karut-marut dunia penyiaran kita. Kredibilitas komisioner, dan juga parlemen sebagai lembaga yang memilih dan mengesahkan, menjadi taruhannya. Atau, biarkan rakyat melakukan pengadilannya pada Pemilu 2019.