Menimbang Hukuman Mati: Antara Belanda dan Indonesia

JAKARTA- Kedeputian V Kantor Staf Presiden yang membidangi Kajian Politik dan Pengelolaan Isu-isu Hukum, Pertahanan, Keamanan dan HAM menggelar diskusi terbatas terkait polemik hukuman mati di Indonesia dan perbandingannya dengan sistem hukum di negara-negara Eropa.

belandHadir dalam diskusi Kamis, 25 Agustus 2016, di Kantor Staf Presiden, Gedung Bina Graha, Jakarta, Pinar Olcer, doktor hukum dari Universitas Leiden, Belanda, dan associate professor bidang ‘Criminal Law and Criminal Procedure’ di the Institute of Criminal Law and Criminology, Leiden. Olcer juga menjadi tim ahli Komisi III DPR untuk membahas Buku II Rancangan KUHP, mengatur mengenai tindak pidana beserta ancaman pidananya.

Mengenai hukuman mati di Belanda, ia menjelaskan, “Kami sudah tak lama mengenal hukuman mati, dan menggantinya dengan hukuman seumur hidup atau life imprisonment. Tapi, pada praktiknya, vonis hukuman seumur hidup pun jarang dijatuhkan oleh hakim,” kata Olcer. Hukuman seumur hidup, telah menjadi seperti vonis kematian yang sesungguhnya, bagi terdakwa yang dijatuhi hukuman tersebut.

Di Belanda, hukuman mati telah dihapuskan sejak tahun 1983, sementara Perancis lebih awal lagi menghapuskan pidana mati yakni pada 1981. Pada awalnya, pidana mati di Belanda telah dihapus berdasarkan undang-undang tanggal 17 September 1870, Stb 162. Namun, untuk hukum pidana militer tetap dipertahankan, khususnya untuk delik-delik tertentu (kejahatan perang, pengkhianatan, dan lain-lain) yang terjadi di masa pendudukan.

Berdasarkan sejumlah peraturan pemerintah yang dibuat Pemerintah Belanda dalam pengasingan di London pada masa berlangsungnya Perang Dunia II, pidana mati kembali dicakupkan ke dalam hukum pidana Belanda.

Namun, berdasarkan amendemen Undang-Undang Dasar yang diberlakukan pada tanggal 17 Februari 1983 (Pasal 114) ditetapkan bahwa pidana mati (oleh hakim) tidak dapat lagi dijatuhkan. Bahkan juga dihapuskan pengenaan hukuman pidana mati dalam hukum pidana militer. Kini, rata-rata vonis bagi terdakwa pembunuhan berupa hukuman pidana antara 12 hingga 30 tahun.

Diskusi yang dihadiri para tenaga ahli Deputi V KSP antara lain Munajat, Vivekananda Hasibuan, dan Billy Esratin menekankan perlunya mengubah pola pikir masyarakat dan penegak hukum kita.

“Seharusnya jangan sedikit-sedikit memasukkan orang ke penjara. Jadinya, yang ada di penjara itu bercampur dari segala jenis kejahatan,” kata Vivekananda.

Olcer juga menceritakan bagaimana gagasan mengenai hukuman mati bekerja dalam masyarakat Belanda dan bagaimana sistem hukum di negeri itu terus memperbaharui dengan pendekatan dan ilmu untuk merespon perkembangan masyarakat.

Di Belanda, ada berbagai jenis crime baru yang dimasukkan ke dalam pertimbangan sistem hukum mereka. Kejahatan-kejahatan seperti terorisme khususnya menjadi salah satu bahan pembicaraan yang cukup hangat di antara praktisi hukum, akademisi hukum, dan bahkan masyarakat biasa.

Salah satu penyesuaian dan perubahan yang cukup signifikan tersebut adalah bagaimana sekarang seorang jaksa (prosecutor) tidak hanya dapat mengajukan tuntutan hukuman, namun mereka juga memiliki wewenang untuk menjatuhkan hukuman pada sang pelaku. Sebagai contoh, seorang prosecutor mampu memberikan hukuman kepada pengedar narkoba jika dirasa pengedar tersebut menunjukkan rasa jera dan tanggung jawab sehingga pantas diberi pilihan alternatif lain dari hukuman yang dikenakannya dari juri dan dipercaya hukuman yang diberikan kepadanya akan memutus semua tali kegiatannya dari narkoba.

Olcer juga mengakui tidak menutup kemungkinan hukuman mati ditinjau kembali di Belanda karena serangan teror yang kerap terjadi berulang kali di negara-negara Eropa. “Jika masyarakat merasa sudah muak dan menginginkan kembali hukuman mati, maka peraturan tersebut dapat secara sah dan legal diberlakukan lagi,” ujarnya.

Sebagaimana ditayangkan di http://ksp.go.id/menimbang-hukuman-mati-antara-belanda-dan-indonesia/

Leave a Reply

Your email address will not be published.