Kang Oji, Konsisten Jadi ‘Pendekar’ Reforma Agraria

Mulai pekan ini, portal KSP menampilkan profil figur di lingkungan Kantor Staf Kepresidenan maupun kementerian/lembaga lain, terkait sosok, pandangan, visi maupun aksi sang tokoh dalam mewujudkan Nawacita, sebagai agenda prioritas pemerintahan Joko Wdodo – Jusuf Kalla mewujudkan Indonesia baru yang lebih baik.

oji1Staf Khusus Kepala Staf Kepresidenan Noer Fauzi Rachman, akrab disapa ‘Kang Oji’ merasa bersyukur saat Presiden Jokowi memimpin Rapat Terbatas Kabinet Kerja sekaligus meluncurkan program Reforma Agraria, 24 Agustus 2016. Namun, di sisi lain ia sadar, launching resmi program itu membawa konsekuensi berat. Menurut Kang Oji, pelaksanaan reforma agraria tidak hanya memerlukan komitmen politik yang menjadi dasar motivasi pejabat-pejabat pemerintah bekerja di masing-masing kementerian dan lembaga pemerintah, maupun menjalin kerjasama antar kementerian dan lembaga pemerintah. “Agar manjur mencapai tujuannya, pimpinan kementerian dan lembaga yang merancang dan menjalankan reforma agraria harus mengerahkan segala kekuatan yang diperlukan, termasuk untuk mengurangi kekuasaan pihak-pihak yang menghalangi misi reforma agraria,” papar bapak dua anak yang menikmati ritual lima hari di Jakarta akhir pekan di Bandung ini.

Kang Oji bukanlah nama asing dalam urusan Reforma Agraria. Di akhir 1980-an, ia mulai menjadi tenaga sukarela alias volunteer pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, untuk membantu kasus-kasus konflik tanah di berbagai tempat di Jawa Barat. Saat itu, LBH Bandung menggunakan pendekatan Bantuan Hukum Struktural (BHS) yang dipelopori oleh Adnan Buyung Nasution dan para pengacara progresif di Yayasan LBH Indonesia.

Pergaulan dalam jaringan advokasi kasus-kasus tanah mengantarkan saya memimpin Konsorsium Pembaruan Agraria 1995-1998, dan berlanjut untuk periode kedua memimpin KPA secara kolektif 1998-2002.

Lulusan Psikologi UNPAD tahun 1990 ini memperoleh gelar PhD dalam bidang Environmental Science, Policy and Management, University of California, Berkeley, dengan menulis disertasi tentang hubungan kebijakan land reform dan gerakan-gerakan sosial di Indonesia. Pada 2011 kembali ke Indonesia, ia menjadi peneliti dan Direktur di Sajogyo Institute untuk Studi dan Dokumentasi Agraria di Bogor, serta mengajar ‘Politik Agraria dan Gerakan Sosial’, di program studi Master Sosiologi Pedesaan, Institut Petanian Bogor (IPB).

Apa yang bisa dipetik dari perjuangan mewujudkan Reforma Agraria dari waktu ke waktu?

Pengalaman saya mempelajari bantuan hukum struktural melalui kegiatan-kegiatan konkret di lapangan, studi, hingga pendidikan pelatihan, menyadarkan bahwa layanan litigasi di pengadilan tidak bisa menyelesaikan masalah hubungan yang eksplotatif antar kelas sosial penguasa tanah dengan petani, hubungan yang represif antar rezim penguasa pemerintah yang otoriter dengan rakyat yang dikuasai, hingga hubungan yang manipulatif antara penguasa dan yang dikuasai. Lebih dari itu, kami belajar meningkatkan kekuatan rakyat dari waktu ke waktu, melalui pembentukan organisasi, kepemimpinan, peningkatan kesadaran, analisis sosial dan keterampilan untuk menguasai, menataguna, hingga memanfaatkan tanah dan kekayaan alam nya secara bersama.

Bagaimana pendapat Anda mengenai kesadaran masyarakat di Indonesia mengenai reforma agraria pada saat ini? Apakah masyarakat kita sudah lebih sadar, aktif, dan partisipatif dari sebelumnya?

Yang paling menonjol saat ini banyak konflik agraria meletus di sana-sini, dan itu adalah penanda perlunya pemerintah mengurus konflik-konflik agraria itu. Rakyat yang berada dalam konflik agraria mendesak pemerintah melindungi rakyat, terutama melindungi korban kekerasan, kriminalisasi dan penggusuran. Kita juga menyadari sebab utama konflik-konflik itu adalah keputusan berbagai pejabat publik berupa surat izin alokasi tanah, termasuk tanah berstatus ‘kawasan hutan negara’, utamanya, perusahaan-perusahaan raksasa kehutanan, perkebunan dan pertambangan, serta taman-taman nasional.

Tiga hal perlu dikemukakan di sini. Pertama, orientasi kebijakannya untuk fasilitasi dan subsidi ke perusahaan-perusahaan raksasa, dan badan pemerintah yang mengelola kawasan konservasi sumber daya alam. Kedua, kebijakan yang sektoral, dan di sana-sini tumpang tindih di sana-sini. Ketiga, tidak ada perlindungan hukum untuk kepemilikan dan akses rakyat yang sudah hidup di dalam tanah yang dialokasikan untuk perusahaan-perusahaan itu, atau badan-badan pengelola konservasi sumber daya alam.

Seperti kebanyakan negara-negara dunia ketiga yang umumnya merupakan bekas jajahan, reforma agraria biasa menjadi hal yang ingin dibenahi dalam upaya memperbaiki keadaan negara mereka, Apa pendapat Anda mengenai perbandingan antara Indonesia dengan negara-negara dunia ketiga lainnya sekarang? Kira-kira berapa lama Indonesia bisa menyelesaikan persoalan ini?

Reforma Agraria merupakan adaptasi dari Bahasa Spanyol, dan mulanya dipakai untuk kebijakan di Mexico yang merdeka semenjak tahun 1910. Di Mexico, pembabakannya adalah 1910-1934 untuk periode yang lambat, mencakup hanya redistribusi 6,3 persen dari semua milik para tuan tanah luas, disebut latifundia, dan kemudian diarahkan untuk pemilikan komunal rakyat desa (ejido). Pada tahun 1934 dimulai percepatan oleh Presiden Cardenas, hingga 1940 dengan mencakup luasan 18 juta hektar, terutama atas pemilikan tanah skala raksasa oleh keluarga-keluarga (latifundia). 1,6 juta hektar daripadanya adalah milik warga Amerika).

Selanjutnya, 30 tahun kemudian sejak 1940 hingga 1970, pemerintah Mexico mendorong sewa menyewa atas tanah-tanah ejido itu dan di sana-sini mengakibatkan kembalinya tanah ejido terkonsentrasi oleh perusahaan-perusahaan. Tahun 1970, setelah mendeklarasikan kematian land reform, Presiden Luis Echeverria kembali menghadapi pemberontakan-pemberontakan petani, dan dipaksa mejalankan program redistribusi dan membentuk ejido-ejido baru. Tahun 1991, setelah amandemen UUD pasal 27, pemerintah membolehkan tanah ejido itu diperdagangkan dan disewa-menyewakan. Walhasil, hingga sekarang, petani terikat dalam pasar dan ikatan globalisasi yang mendalam, termasuk semakin derasnya petani kehilangan tanah dan pergi migrasi meninggalkan pertanian dan pedesaan. Migrasi dari pedesaan Mexico ke kota-kota, dan ke luar negeri terutama Amerika Serikat, sangat besar. Penduduk Mexico yang berada di AS berjumlah 15 juta orang! Dan pendapatan desa dari migrasi, istilahnya financial remittance, merupakan sumber hidup orang desa-desa pengirim para migran. Di pihak lain, ketimpangan tanah menjadi masalah, sebab penguasa tanah adalah penguasa ekonomi dan politik, dan pada puncaknya adalah perusahaan-perusahaan trans-nasional dan nasional menguasai tanah-tanah untuk agribisnis berlokasi di desa-desa di seantero Mexico.

Begitulah Mexico, tiap negara punya rute kebijakan land reformnya sendiri, dan dengan demikian kita tidak bisa mencari rujukan rute perjalanan kebijakan reforma agraria pemerintah negara lain untuk memahami kebijakan reforma agraria Indonesia.

Untuk pembabakan kebijakan land reform Indonesia, saya telah membuat buku Land Reform dari Masa ke Masa, diterbitkan oleh Tanah Air Beta, dan STPN Press, 2011, dan 2012.

oji2Membandingkan perjalanan kebijakan Mexico dengan Indonesia bisa berguna, dan sungguh penting, di antaranya untuk menghasilkan kesimpulan mengenai kedudukan komitmen, agenda dan realisasi reforma agraria sebagai “dependent variable” dari komitmen politik dari kekuatan yang bekerja di pemerintahan untuk melindungi kelas sosial petani dan pertanian rakyat sebagai produsen makanan yang utama di pedesaan.

Pertanyaannya, bagaimana komitmen politik untuk Reforma Agraria saat ini di tengah membesarnya kekuatan perusahaan-perusahaan raksasa baik dalam arti penguasaan ruang, dalam rantai komoditas sejak dihasilkan hingga disirkulasikan sampai ke konsumen, hingga pengaruhnya sebagai kekuatan pembentuk kebijakan dan praktik pemerintahan. Pendek kata, sudah pasti bahwa bekerjanya pasar tanah, tenaga kerja dan uang akan bermuara pada meningkatnya kekuatan perusahaan-perusahaan raksasa. Pasar itu tidak akan memberdayakan mereka yang lemah begitu saja. Slogan, ‘making market work for the poor’ bagus di-narasikan, namun kenyataan pahit masih terus berlangsung pengurangan jumlah rumah tangga petani dari waktu ke waktu, Sepanjang 10 tahun (2003 sd 2013) terdapat lebih 5 juta rumah tangga tani ‘beralih profesi” dan pergi dari kerja-kerja pertanian rakyat.

Reforma Agraria yang ditegaskan Presiden Joko Widodo pada rapat terbatas di Kantor Presiden menjadi jawaban atas kebijakan yang lama ditunggu. Dari berbagai isu yang biasanya dibicarakan dalam reforma agraria seperti permasalahan petani, kerusakan lingkungan, kepemilikan tanah, konflik dan sengketa masalah apa yang menurut bapak harus sangat urgent untuk diselesaikan terlebih dahulu di Indonesia untuk saat ini?

Reforma agraria ini menyediakan pilihan cara lain bagi kelompok-kelompok masyarakat miskin di desa, khususnya para pemuda-pemudi dari rumah tangga petani, untuk keluar dari kemiskinan. Bukan dengan cara meninggalkan pertanian dan pedesaan lalu pergi ke luar desa (ke kota-kota menjadi bagian dari tenaga kerja industri ataupun kerja di sektor informal, atau ke luar negeri menjadi buruh migran), melainkan memberi kepastian hak kepemilikan atas tanah dan akses atas lahan hutan secara bersama (kolektif), dan selanjutnya melakukan pemulihan layanan alam melalui penatagunaan tanah dan perbaikan ekosistem, serta peningkatan produktivitas melalui pengusahaan tanah bersama melalui badan-badan usaha bersama, termasuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

Program ini seharusnya diefektifkan untuk menahan laju konsentrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan lahan di pedesaan melalui pemberian kepastian hak kepemilikan dan akses atas lahan secara kolektif untuk lapisan masyarakat miskin di pedesaan. Program ini juga sekaligus menjadi momentum membangkitkan partisipasi masyarakat dan memberdayakan pemerintah desa untuk menata penguasaan, pemilikan, penatagunaan, dan pemanfaatan lahan dan hutan.

seperti ditayangkan di http://ksp.go.id/kang-oji-konsisten-jadi-pendekar-reforma-agraria/

Leave a Reply

Your email address will not be published.