Pekan ini, portal KSP mengangkat sosok dan pandangan Deputi II Kepala Staf Kepresidenan, Yanuar Nugroho.
Pengajar, peneliti, dan aktivis. Tiga kata serumpun itu lekat menggambarkan profil pria kelahiran Solo, 15 Januari 1972 ini. Menggenggam sarjana Teknik Industri dari Institut Teknologi Bandung, Yanuar mendapatkan beasiswa Chevening dari Pemerintah Inggris pada 2000. Gelar Master of Science diraihnya di University of Manchester Institute of Science and Technology (UMIST).
Dengan kajian utama mengenai inovasi teknologi dan perubahan sosial, Yanuar kemudian mendapatkan Ph.D dari Manchester Business School pada 2007. Pada 2004 hingga 2012, lebih dari 20 riset pernah ditangani. Pada 2009, ia pun mendapat penghargaan sebagai akademisi terbaik di Manchester Business School. Sebelumnya, di Indonesia, dia dikenal sebagai seorang aktivis. Yanuar mendirikan Lembaga Studi Pembangunan dan Pelayanan Teknologi (ELSPPAT), Sekjen Uni Sosial Demokrat (Unisosdem), Direktur Eksekutif Business Watch Indonesia (BWI), sebelum hijrah ke Inggris.
Meninggalkan promosi dari Research Fellow ke Senior Lecturer di Universitas Manchester dan kembali ke Indonesia pada 2012, Yanuar mengemban amanat sebagai Tenaga Ahli Utama di Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) pimpinan Prof. Kuntoro Mangkusubroto di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Di akhir pemerintahan lalu, Yanuar sempat bimbang. Beberapa pilihan menantangnya: kembali mengajar di Manchester, menuju New York untuk bekerja di PBB, atau menerima tawaran menjadi asisten Direktur bidang Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup di Bank Dunia di Washington DC.
Namun, sebuah panggilan dari Bina Graha ke Yogyakarta, tempat Yanuar tinggal bersama istri dan dua anaknya, mengubah semua rencana itu. “Saya terkejut Pak Luhut (Luhut Binsar Pandjaitan, Kepala Staf Kepresidenan saat itu) memberitahu saya, bahwa saya direkrut sebagai salah satu deputinya dan hal tersebut merupakan permintaan langsung Presiden Jokowi,” ungkap orang Asia pertama yang berhasil meraih Hallsworth Fellowship ini.
Apa yang menjadi fokus Kedeputian II Kantor Staf Presiden yang membidangi kajian dan pengelolaan Isu-isu Sosial, Ekologi dan Budaya Strategis?
Isu-isu strategis yang kami tangani banyak menyangkut kesejahteraan umum. Ada tiga dimensi dalam visi Presiden Joko Widodo yang kita kenal sebagai Nawacita. Dimensi pertama adalah tiga mandat konstitusi yakni kesehatan, pendidikan, dan pengentasan kemiskinan. Kedua, dalam Nawacita juga ada yang disebut prioritas atau fokus, yakni pangan, maritim, energi, dan infrastruktur. Dimensi berikutnya adalah reformasi birokrasi.
Secara khusus, klaster yang termasuk ke dalam isu ekologi terkait dengan ‘perlindungan lingkungan dan perubahan iklim’. Climate change, alih fungsi lahan, dan perhutanan sosial merupakan beberapa contohnya. Lalu, dalam isu sosial ada reforma agraria, jaminan sosial, kesehatan, pendidikan, desa, reformasi perencanaan dan penganggaran, dan TKI. Di isu budaya, hal-hal yang kami tangani mencakup reformasi birokrasi, anti korupsi, masyarakat adat, dan ruang terbuka publik.
Kami juga menangani isu lintas bidang yang terkait dengan inisiatif internasional seperti Open Government, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs, dan pencapaian target nasional untuk menangani Climate Change. Selain itu mengembangkan Sistem Peringatan Dini untuk iklim, bencana, maupun pangan, Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi serta permasalahan-permasalahan ad hoc.
Bagaimana Anda melihat masyarakat menilai pelaksanaan Nawacita dan kerja pemerintah pada dua tahun pertama?
Tahun-tahun pertama Presiden Jokowi adalah waktu untuk melakukan perombakan sekaligus meletakkan pondasi. Pemimpin kita sekarang sangat terbuka dengan pembaruan dan perubahan. Saya melihat Nawacita menjadi referensi untuk perubahan seperti apa yang ingin dilakukan. Pertama, perwujudan dari konsep negara hadir. Saat ini, kehadiran negara terasa di kehidupan publik. Quality Public Service Delivery merupakan produk hasil dari kehadiran Negara: adanya jalan sebagai infrastruktur, tunjangan untuk para pegawai negeri, fasilitas kesehatan yang memadai, dan lain-lain. Itu yang diprioritaskan di tahun-tahun pertama.
Kedua, Nawacita memandatkan bahwa orientasi pemerintah adalah publik. Birokrasi berfungsi untuk memberikan pelayanan. Money follow program merupakan perwujudan dari orientasi pembangunan dari birokrasi ke kepentingan publik. Publik harus merasakan dampak dan manfaat pembangunan lewat kinerja pemerintahan.
Ketiga, pembangunan dari pinggiran. Jangan meninggalkan orang-orang yang tidak berada di dekat pusat-pusat pertumbuhan seperti Jawa. Prinsip pembangunan Indonesia-sentris adalah untuk memastikan hasil pembangunan tak hanya dinikmati mereka yang ada di Jakarta, atau Jawa saja.
Keempat, mengenai produktivitas dan daya saing. Ini merupakan alasan mengapa kita banyak berinvestasi pada pembangunan infrastruktur dan SDM berkualitas baik. Tak ada produktivitas dan daya saing jika manusianya tidak berkualitas – tidak terdidik dan tidak sehat.
Dua tahun awal, mungkin masih terlalu dini untuk berkata bahwa visi Nawacita mutlak tercapai, tetapi orang-orang sudah mulai melihat bahwa ada sesuatu yang dikerjakan. Pemerintahan ini tidak hanya berdiam diri. Yang kita kerjakan selama tahun pertama dan kedua adalah meletakkan pondasi. Heavy infrastructure, baik fisik, maupun ekonomi-politik. Dampaknya akan mulai terlihat nanti pada tahun 2017 dan seterusnya. Baru dapat dinilai di situ.
Saya yakin publik sudah mulai merasakan buah-buah Nawacita, walaupun belum semuanya. Kita harus memberi ruang yang lebih luas kepada publik agar mereka dapat ikut terlibat dalam pembangunan dan pengambilan keputusan yang terkait dengan hidup mereka sendiri. Dalam hal ini, inisiatif Kantor Staf Presiden dengan sistem pengaduan nasional LAPOR! Kini telah diintegrasikan dengan Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional atau SP4N. Di sinilah kemudian Kedeputian II KSP melakukan reality check, atas target-target yang dicanangkan. Misalnya, apakah reforma agraria 9.5 juta hektar bisa tercapai? Bagaimana perkembangan pembukaan 1 juta hektar sawah baru, bagaimana kemajuan pengiriman tenaga kesehatan dan guru ke daerah 3T?
Berbicara mengenai Nawacita, September lalu Anda hadir di Sidang Umum PBB mendampingi Wakil Presiden, dalam acara 5th Open Government Partnership. Bagaimana respon peserta sidang atas tema besar yang diusung Indonesia: ‘Pembangunan dari Pinggiran/Desa dan Partisipasi Publik dalam Pembuatan Kebijakan Pembangunan’?
Apa yang kita kerjakan dalam Nawacita ini bergaung di tingkat global, Ada beberapa inisiatif internasional yang benar-benar sejalan dengan apa yang kita kerjakan. Pertama adalah SDGs, yang memiliki prinsip sama seperti ‘membangun dari pinggiran’ yaitu ‘no one left behind’. Kita sudah mencoba memetakan kaitan dan kompatibilitas antara sembilan cita dalam Nawacita dengan tujuh belas tujuan dalam SDGs.
Yang kedua yakni Open Government Partnership (OGP). Indonesia adalah salah satu dari 8 negara pemrakarsa inisiatif keterbukaan pemerintah ini pada tahun 2011. Saat ini anggota OGP 70 negara. OGP sangat instrumental untuk mencapai tujuan pembangunan global. OGP menganut prinsip-prinsip sama yang juga dianut pemerintah Indonesia seperti akuntabilitas, keterbukaan, dan transparansi. Yang paling penting dari OGP adalah bagaimana pemerintah melalui keterbukaannya, bisa melayani publik. Prestasi besar kita, Kabupaten Bojonegoro di Jawa Timur terpilih menjadi satu dari lima belas model OGP sub-national sedunia!
Sebelumnya, Bojonegoro merupakan salah satu kabupaten yang kaya dengan sumber daya alam namun tetap miskin dan tertinggal karena kualitas hidup buruk seperti kerap dilanda banjir. OGP menjadi cara mereka mengatasi kemiskinan dan bencana banjir. Dengan keterbukaan informasi hingga di tingkat desa, tak hanya kemiskinan bisa diatasi karena semua rakyat makin terbuka mengelola sumberdayanya. Keterbukaan ini juga membantu masyarakat mengelola DAS Bengawan Solo. Mereka terbuka dalam pengelolaan aliran sungai mulai dari Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri hingga di Bojonegoro. Akibatnya banjir bisa dikurangi. Bahkan mulai 2010 tak ada lagi banjir.
Di New York, kita tidak bercerita sesuatu yang mengawang-awang, namun bercerita mengenai kasus-kasus dan pengalaman. Orang-orang yang hadir menjadi lebih mengetahui bahwa ide-ide besar di tingkat global bisa diimplementasikan bahkan hingga di tingkat desa-desa di Indonesia.
Sebelumnya Anda juga tampil dalam Konferensi Indonesia Update di Australian National University yang bertema E-governance under Jokowi Administration. Apa yang bisa kita banggakan dari forum di Canberra itu?
Saya berbicara di sana dalam dual capacity, sebagai Deputi Kepala Staf Kepresidenan, dan seorang akademisi. Saya bercerita tentang digital Indonesia, strategi e-governance di bawah Presiden Jokowi. Di era Jokowi ini, visi e-governance harus bisa diturunkan secara teknokratik agar dapat dijalankan dengan benar. Saya menjelaskan evolusi e-governance dari e-government. E-government lebih mengarah kepada moda elektronik dan online pelayanan atau service yang disediakan pemerintah, seperti e-billing dan proses-proses digitalisasi lainnya. Sedangkan e-governance juga memberikan ruang bagi keterlibatan masyarakat untuk dapat menjangkau pemerintah terhadap service tersebut. Baik itu berkomentar, mengkritik, dan interaktivitas lainnya. Presiden Jokowi menginginkan reformasi birokrasi dan anti korupsi yang dimulai dari keterbukaan. Sebagai bagian dari e-governance, penggunaan LAPOR, e-katalog, one data, one map dapat meningkatkan efisiensi pelayanan publik.
sebagaimana ditayangkan di http://ksp.go.id/pemerintahan-ini-tidak-berdiam-diri/