CIKINI – Trio KLa Project punya tradisi menarik setiap memasuki tahun yang baru. Tiga musisi ini kerap menggelar ‘retreat’, atau –dalam istilah mereka- ‘forum’ untuk merancang seperti apa konsep KLa setahun ke depan.
“Kami pun berpikir tahun ini membuat konser bertema kebudayaan, menampilkan aneka musik dan kekayaan Indonesia,” kata Romulo ‘Lilo’ Radjadin, pemetik gitar dan suara latar KLa, dalam konser bertajuk ‘Passion, Love and Culture, The Ethnic Pop Concert of KLa Project’, Kamis, 15 Desember 2016.
Maka, jadilah konser nan kaya nuansa etnis dan budaya selama dua jam lima menit di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki. Tampil berbalut vest kain songket asal Palembang, diiringi perpaduan alat musik dari Sumatera Barat seperti saluang, talempong, bansi, dan serunai, KLa menyuguhkan ‘Saujana’ sebagai lagu pembuka. Bercerita tentang kekuatan sebuah visi, lagu kedua dalam album ‘Sintesa’ (1998) ini dimainkan dalam suasana gelap, menegaskan spirit perjuangan yang dibangun untuk memenangkan kerasnya kehidupan.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, ‘saujana’ bermakna ‘sejauh mata memandang’. Sebagaimana keyakinan dilantunkan dalam lirik lagu itu, “Saujana, samudra membentang sambut layarku… Saujana, hidup di seberang gerlap mimpiku… Mungkinkah merapat ke sana? Lalu aku bangun istana…”
Setelah Adi Adrian -pianis dan kibordis yang memang berasal dari Padang- menjelaskan aneka instrumen musik asal ranah Minang, berturut-turut meluncur belasan lagu lain dengan nuansa etnik dari berbagai daerah di Indonesia. Maka, setiap jelang satu kata awal sebuah lagu terucap dari mulut sang vokalis Katon Bagaskara, para penonton dari generasi 1990-an berpikir keras, ke mana ujung intro dari tampilan variasi musik daerah itu mengarah.
Alunan musik Sunda membawa KLanis ber-‘du, du, du’ pada ‘Waktu Tersisa’, ‘Terpuruk Ku di Sini’ rasa Indonesia Timur, nada-nada musik Batak mengiringi ‘Terkenang’, irama Bali pada ‘Pasir Putih’, petikan Sasando Timor pada ‘Romansa’, gaya Melayu untuk ‘Belahan Jiwa’ dan tentu saja sinden Jawa menggairahkan lagu legendaris mereka, ‘Jogjakarta’.
Berusia 28 tahun, berdiri pada 1996 di kawasan Gudang Peluru Tebet, KLa Project adalah saksi sejarah jatuh bangunnya musik Indonesia. Mereka populer di era kaset berpita, masuk ke masa cakram padat alias CD hingga ke era ring back tone dan berbagai terobosan dunia digital kekinian.
KLa juga membanggakan diri sebagai pelopor rekaman konser live, yang dikemas dalam dua album ‘KLakustik’ pada 1996 di Gedung Kesenian Jakarta. Lilo mengisahkan, dua puluh tahun usai ‘KLakustik’ dirilis, sampai saat ini mereka masih ‘gajian’. “Itupun ada bajakannya. Gimana kalau enggak? Mungkin gua udah punya private jet kayak Syahrini,” celoteh pria yang sempat ‘bercerai’ dari KLa pada 2001, namun ‘rujuk’ kembali delapan tahun kemudian.
Lilo memang bintang panggung malam itu. Terutama lewat prolog-prolog ‘nyelekit’-nya. Di hadapan para pejabat macam Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, anggota DPR dan calon Dubes RI di Selandia Baru Tantowi Yahya serta Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf, ia pun menyinggung peran Adi Adrian yang tercatat sebagai komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) pimpinan Rhoma Irama. “LMKN ini dua tahun rapat terus. Semoga tahun depan gua udah bisa dapat royalti,” celetuk pria berdarah Makassar ini.
Satu ‘noda’ dari konser malam itu, saat personel KLa tak bisa membendung tendensinya pada kutub politik yang ada. Awalnya, Lilo sempat minta maaf karena berteriak, “NKRI nomor satu, gubernur nomor dua!” Ia pun lalu berucap, “O ya, di sini juga ada pendukung AHY ya. Kami juga AHY, Ahok Hakul Yakin…”
Sampai sekarang saya masih penasaran, apakah saat KLa berkumpul dalam ‘forum’ membahas konsep konser budaya, bakal terpikir mementaskannya dalam suasana Indonesia di tengah krisis kebhinnekaan. Bagi mereka, kalau ketiga orang dari latar suku, agama, dan kultur ini bisa 28 tahun jalan menggerakkan KLa Project, maka seyogyanya Indonesia pun bisa memaknai perbedaan.
“Kami ini jarang bertemu, jarang jalan bareng. Tapi begitu di panggung, musik bicara menyatukan KLa. Seharusnya, Indonesia juga begitu,” kata Katon Bagaskara, pria kelahiran Magelang, 50 tahun silam.
Dan, bersama ribuan penonton yang membayar tiket dari kelas termahal Rp 2,2 juta hingga Rp 500 ribu, mereka pun mengaminkan harapan itu dengan bernyanyi bersama dalam lagu penutup, “Semoga…”