Kalimat yang diucapkan analis sepakbola Anton Sanjoyo dalam perbincangan Metro Sport Siang, Senin 19 Desember 2016 tadi begitu penuh makna dan mengena.

Pada dialog live dengan presenter Widya Saputra, Joy -sapaan akrab jurnalis veteran Harian Kompas itu- menyatakan, tim nasional sepakbola Indonesia memang gagal membuat catatan emas Juara Piala AFF untuk kali pertama, setelah kalah dari Thailand dengan total skor 2-3. Namun, semangat persatuan yang dikibarkan Rizky Rizaldi Pora dan kawan-kawan memberikan kedamaian tersendiri di tengah kesatuan bangsa yang belakangan seolah-olah tercabik. Meski kita tidak jadi juara, tapi sesungguhnya bangsa ini telah jadi pemenang.

Benar kata Bung Joy, kita menang, meski tidak juara. Betapa tidak, pada sebulan terakhir, rasa sebangsa setanah air dan sedarah Indonesia kembali muncul. Terutama setelah gol Stefano Lilipaly dan Andik Vermansyah menggetarkan jala gawang Singapura dan meloloskan tim Garuda ke babak empat besar turnamen sepakbola antar bangsa Asia Tenggara. Dari tim ‘pupuk bawang’ dengan persiapan hanya tiga bulan, ditambah problem kuota tiap klub hanya mengirim maksimal dua pemain ke timnas, maka lolos ke final Piala AFF 2016 sudah jadi rapor biru bagi dunia sepakbola Indonesia tahun ini.

Maka, yang terjadi kemudian, kita merasa dibangunkan dalam satu rasa Indonesia yang sama. Sejak dini hari, puluhan ribu orang berebut tiket menonton semifinal dan final, yang kali ini didistribusikan di dua markas tentara. Lihatlah foto yang dimuat di Koran Tempo ini, seorang tentara di Makostrad kawasan Gambir sampai nangkring di atas pagar demi menjalankan instruksi menyemprot para penggila bola yang kehausan dan kepanasan mencari karcis laga final di Stadion Pakansari, Bogor.
Sabtu malam, jelang final laga kedua, bermotor dari arah Tangerang ke Jakarta Barat, terlihat berbagai titik menggelar nonton bareng. Sebuah bendera merah putih ukuran besar bahkan berkibar di tepi jalan, menandai tempat nobar ala rakyat kecil dibuka. Mal dan restoran kelas atas pun berlomba membuat hajatan serupa, karena nasionalisme tak pernah memandang kasta. Dari pembeli tiket online, antrean di Garnisun, sampai nobar di hotel bintang lima maupun warung kopi, semua ingin menunjukkan hati bagi merah putih.

“Ternyata Tuhan masih adil,” kata Andibachtiar Yusuf, pemerhati sepakbola nasional, dalam sebuah grup percakapan telepon sesama penggemar Liverpool yang saya ikuti. Adil, karena federasi kita (PSSI) baru Mei lalu lepas dari satu tahun belenggu skorsing FIFA. Adil, karena rasanya hanya di negeri ini sebuah kompetisi antarklub domestik masih bergulir di hari yang sama tim nasionalnya mementaskan laga internasional resmi.
Adil, karena jelang Piala AFF timnas kita hanya berujicoba melawan Myanmar dan Vietnam, sementara timnya Kiatisuk Senamuang nemiliki bekal tanding melawan Iran, Irak, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Korsel, Jepang, Qatar, dan Australia.
Nyatanya, Tuhan masih adil. Meski jelang partai final kedua, semua mitos coba dikedepankan media Indonesia. Ada yang bilang, Thailand selalu gagal juara ketika kalah di laga pertama final. Ada yang mengangkat fakta, Thailand selalu urung juara saat Teerasil Dangda menjadi pencetak gol terbanyak.

Tuhan juga adil saat para pahlawan dengan persiapan dadakan itu tetap mendapat apresiasi. Total bonus bersihnya Rp 5,7 miliar dari negara, beda separuh dengan janji Rp 12 miliar jika anak buah Alfred Riedl ini juara. Tapi, keluar dari Istana Merdeka membawa tanda terima Rp 200 juta per pemain tentu tak ada artinya dibandingkan kesempatan makan siang bersama orang nomor satu negeri ini.
Dalam jamuan makan siang, Presiden Jokowi memuji, “Kita lihat timnas Garuda ini betul-betul bisa menyatukan bangsa kita, menunjukkan kekuatan dan persatuan, serta menunjukkan kebhinnekatunggalikaan kita. Perbedaan, kemajemukan, dan keberagaman itu menjadi sebuah sumber kekuatan bangsa kita.”
Sungguh tak dapat dinilai dengan rupiah. Bersalaman, berbincang dan menciduk aneka lauk dengan piring diulurkan langsung oleh Presiden Jokowi di lokasi tempat biasa menerima pemimpin negara lain, duta besar dan para pejabat lembaga tinggi negara. Istana Merdeka lho, bukan Istana Negara…

Ditambah lagi, Presiden Jokowi meminta agar uang apresiasi bagi para pemain segera ditransfer sore ini ke rekening masing-masing pemain. Pihak Kementerian Olahraga sampai nyeletuk, tak pernah ada realisasi pembagian bonus secepat ini, termasuk bagi peraih emas Sea Games, Asian Games, Olimpiade, dan Paralympic. “Belum pernah terjadi dalam sejarah, bisa secepat ini,” kata Gatot Sulistiantoro Dewa Broto, salah satu deputi sekaligus jubir Kemenpora.
Dalam penutup dialog livenya di Studio Kedoya, Bung Joy berucap, “Hasil tak pernah mengkhianati proses.” Kita sudah menang, memenangkan bangsa ini dengan pemersatu bernama sepakbola di tengah ancaman negara terpecah-belah. Bahwasanya kita belum juara, ya karena ternyata Tuhan masih adil. Saatnya berproses lebih baik melalui kompetisi dan pembinaan sepakbola tersistematis.