Indonesia Tanpa One

Sebuah pengalaman kecut nan traumatik saya alami akhir pekan lalu: nyaris ditelanjangi di di kawasan tempat saya tinggal!

 Sabtu, 18 November 2006, pukul 21.00 WIB, saat berjalan kaki kembali masuk ke dalam gang menuju rumah, setelah mengantarkan seorang sahabat mencari taksi, seorang pemuda memepetku ke tembok gang.“Hei, kamu tinggal di mana?” ia bertanya.


Sekejap, pikiran cepatku bekerja: ini pasti gara-gara badanku memakai kaos hijau dengan tulisan Bonek, kelompok suporter garis keras pendukung Persebaya. Analisa yang tak meleset karena sekilas mataku melirik, pemuda itu memakai kaos putih bertuliskan Jakmania. Maka, skenario terburuk pun melintas dalam angan, “Siap-siap gembuk…”

Maklum saja, daerah Pondok Pinang –- yang hanya berjarak 2 kilometeran dari Stadion Lebak Bulus — adalah salah satu wilayah di Jakarta yang menjadi basis pendukung fanatik The Jak alias Persija. Bahkan, di tembok tempatku dipepet itu, terpampang grafiti yang mengagungkan The Jak, dan melecehkan Persib Bandung dan kelompok supporter Viking. Ada pula coretan besar terbaca, “Gendut Doni, Tolol…” Gendut Doni, ialah ikon Persija ketika Juara Liga Indonesia VIII, yang pada musim lalu pindah ke Persib, musuh seumur hidup Jakmania.

Kembali ke kisah traumatik tadi. Pemuda ceking itu membentak, berteriak, sambil menunjuk-nunjuk muka, “Gua di Surabaya dihancurin ama bonek.”

Walah, saya semakin tersudut, meski sudah kujelaskan, saya bukan orang baru di kampung itu. Sudah pula kujelaskan, saya ini wartawan yang hobi mengoleksi kaos supporter klub-klub sepakbola seantero nusantrara. Apa daya, pemuda itu tetap tidak terima, memaksaku melepas kaos Bonek. Oke, tanpa perlawanan, kuturuti.

Seorang bapak mencoba mengamankan situasi. “Mas, kalau di sini jangan pakai kaos itu. Ini daerahnya Persija,” katanya, setelah menyaksikan diriku bertelanjang dada.

Namun, belum puas menyaksikanku setengah bugil, pemuda tadi merampas kaos Bonek yang kugenggam. Kaos seharga 30 ribu perak yang kubeli saat menyaksikan Putaran Final Liga Indonesia XI di Senayan tahun lalu.

Hmmm… ya, sudahlah, yang penting tak digembukin, pikirku sambil lari terbirit-birit menuju rumah, bertelanjang dada, seperti turis yang berolahraga kemalaman…

Moral cerita ini sebenarnya adalah, mengapa masih ada perasaan menggebu terhadap fanatisme pada daerah-daerah tertentu di Indonesia? Perasaan, “Kamu berasal dari sana, dan kota itu adalah musuh kami.”

Apalagi, penyebab utamanya adalah sepakbola, sebuah permainan yang diharapkan kompetisinya diharapkan dapat menyatukan bangsa dan meleburkan semua sekat.

Tapi, apa yang terjadi? Bukannya kesatuan yang lahir sebagai produk kompetisi sepakbola. Bentrokan antarsuporter kerap muncul, diiringi fanatisme berlebihan membawa dendam turun temurun sepanjang masa.

Bahkan, hal yang tak ada kaitannya dengan sepakbola pun dibawa-bawa. Sejam sebelum laga Persija melawan Persib di Lebak Bulus, saya pernah menyaksikan kumpulan Jakmania berdiri di atas Metro Mini sambil mengusung spanduk bertuliskan, “Bandung Kota Maksiat”. Lho, apa hubungannya?

Maka, sepakbola kita hanya melahirkan ingar-bingar yang “jalan di tempat”. Bagaimana perasaan Anda saat menyaksikan para pemain nasional — yang konon produk terbaik dari kompetisi Liga Indonesia- terus-menerus gagal menjadi juara di kelas Asia Tenggara sejak terakhir menyabet medali emas di Sea Games Filipina 1991, sembilan belas tahun lalu!

Di kualifikasi Asian Games, tim yunior Indonesia yang dimasak secara instan di Belanda, belum-belum sudah dihajar setengah lusin gol tanpa balas dari Irak, negeri yang belum pulih benar dari hajaran perang lima tahun terakhir!

Inilah akibatnya, kalau semua lupa, bahwa di antara deretan huruf-huruf yang membentuk kata I-N-D-O-N-E-S-I-A, ada tiga huruf O-N-E secara berurutan! Indonesia adalah satu. Menghilangkan rasa kesatuan antarwarga, berarti sama dengan mencopot tiga huruf ONE itu dari INDONESIA.

Selayaknyalah, perasaan primordialisme terlalu tinggi segera kita singkirkan, kalau tak mau negeri ini kehilangan tuah karena tak ada lagi semangat bergandeng tangan antarinsan dengan perbedaan asal, agama, warna kulit dan pembatas-pembatas lainnya.

Tiba-tiba saya teringat ucapan pakar ekonomi Tanri Abeng dalam sebuah seminar bisnis awal bulan lalu, “Orang kita ini sulit sekali dalam bekerjasama. Makanya, Indonesia jarang sekali bisa menang di olahraga yang mempertandingkan lebih dari dua orang dalam satu tim.”

Leave a Reply

Your email address will not be published.