“Tanah Papua tanah yang kaya
surga kecil jatuh ke bumi
Seluas tanah sebanyak madu
adalah harta harapan
Hitam kulit keriting rambut, kami Papua
Hitam putih keriting lurus, kami Papua
Biar nanti langit terbelah aku Papua…”
Thank’s God, akhirnya terwujud juga mimpi menginjakkan kaki di sebuah pulau yang diibaratkan alm. Franky Hubert Sahilatua dandan Edo Kondologit sebagai surga kecil jatuh ke bumi.
Meski cuma kunjungan singkat ke Jayapura dan Wamena tiga hari dua malam, Papua meninggalkan kesan nan amat mendalam. Perlahan tapi pasti, pace-mace saudara kita ini menghapus stigma sebagai masyarakat tertinggal. Visi Indonesia Sentris yang menekanan pembangunan dari pinggiran Presiden Jokowi menaruh prioritas pada provinsi paling timur Indonesia ini.
Dari 12 program prioritas Presiden Jokowi yang dilakukan sebagai implementasi Nawacita alias janji kampanye 2014, satu pasal jelas menyebut secara spesifik, ‘Pembangunan Papua’. Adapun program prioritas lainnya seperti ketahanan pangan, poros maritim, ketahanan energi, pembangunan infrastruktur, pembangunan desa, dan reforma agraria.
Pembangunan Pos Lintas Batas RI-Papua Nugini di Skouw yang diresmikan Presiden Jokowi 9 Mei lalu membuat warga kita lebih bangga dan terangkat derajatnya. Setidaknya dibandingkan pelancong dari tetangganya di Papua Timur. “Dengan pos lintas batas baru yang lebih megah ini, aksesnya jadi lebih mudah. Pengunjung dari PNG pun lebih banyak,” kata Sudarto, tukang ojek lintas batas di yang menghubungkan Kampung Skouw di wilayah Distrik Muara Tami, Kota Jayapura dan Desa Wulung di teritori Provinsi Sandaun, PNG. Pria asal Banyuwangi yang 30 tahun hidup di Papua itu biasa melayani pengojek dari seberang bermata uang ‘kina’. Satu kina bernilai sekitar empat ribu rupiah.
Kebijakan Satu Harga Bahan Bakar Minyak menjadi terobosan lain, sebagai bukti bahwa pace dan mace Papua berhak mendapat layanan dan kemudahan sama seperti saudara setanah air di Jawa maupun provinsi lain. Padahal, kondisi geografis di Papua menjadi sebuah kesulitan tersendiri.
Distribusi BBM dari Jayapura maupun Timika ke daerah-daerah pedalaman tak mungkin dilakukan dengan truk tanki yang biasa kita lihat berseliweran di ruas jalan pantai utara Jawa maupun jalur lintas timur Sumatera. Semua harus melalui jalur udara. “Anda bisa bayangkan, biaya pengiriman BBM dari Timika ke Wamena saja mencapai Rp 54 ribu rupiah per liter,” kata General Manager PT. Pertamina Regional VIII Papua-Maluku, Made Adi Putra. Dari Wamena, ibukota Kabupaten Jayawijaya, BBM itu disalurkan lagi melalui pesawat-pesawat kecil ke kabupaten lain seperti Yahukimo. Mamberamo Tengah, Yalimo, Tolikara, Pegunungan Bintang, dan Lanny Jaya.
“Kami berterimakasih pada Presiden Jokowi. Harga BBM lebih murah, tak ada antrean, kendaraan bisa digunakan lebih optimal,” kata Okto Rumpaidus yang kami temui di Agen Premium, Minyak dan Solar (APMS) milik Haji Anwarudin di jantung kota Wamena. Dari atas RX King yang sudah dimodikasi, ia berkisah dulu harga premium mencapai Rp 50 hingga 100 ribu per liter. Kini, Okto bisa membelinya seharga Rp 6.450 tiap liternya. Tak ada yang beda dengan yang didapat di daerah lain. Bahkan, kalau di Jawa jumlah premium dibatasi dan harus mulai biasa berganti ke BBM non subsidi, di Papua stok bensin kelas rakyat itu tetap terjaga.
Harus diakui, belum semuanya selesai memang. Persoalan penegakan Hak Asasi Manusia tetap harus juga diprioritaskan di samping dentam pengerjaan infrastruktur seperti proyek Trans Papua dan revitalisasi Pos Lintas Batas Negara di Skouw dan Merauke. Untuk kebijakan satu harga, selain masalah BBM yang sudah dapat dinikmati sebagian warga Papua dan harus dijaga stabilitasnya, tekad besar mewujudkan harga semen lebih murah terus diupayakan.
Tak lupa di Abepura, saya sempatkan mencicipi papeda, bubur sagu khas Papua lengkap dengan kuah kuningnya. Konon, papeda berarti ‘Papua Penuh Damai’
Papua bukan orang lain. Papua adalah saudara sekandung. Papua adalah kita. Itu sudah.