Ini pengalaman sahabat saya, Munajat, sesama Tenaga Ahli di Kantor Staf Presiden. Di tengah misi menggelar KSP Goes to Campus di Salatiga, Kantor Staf Presiden juga memiliki ‘misi’ lain, yakni mencari keberadaan orangtua yang namanya Mbah Sri, yang konon tinggal di belakang Kantor Kejaksaan Negeri Salatiga. Munajat, memiliki beban dan peran besar dalam menjalankan ‘misi’ ini.
Ia bercerita, menurut informasi dari Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani, Mbah Sri merupakan eks ‘jugun ianfu’, remaja putri Indonesia yang ditipu dan dipaksa untuk dijadikan budak seks Jepang pada masa penjajahan 1942-1945. Mbah Sri saat itu menjadi ‘jugun ianfu’ termuda se-Asia Tenggara. Sri dipaksa sebagai ‘jugun ianfu’ sejak umur 9 tahun, yang mengakibatkan rahim beliau bocor, sehingga tidak memungkinkan mempunyai keturunan.
Berbekal cerita singkat ini, Munajat, pun mencari keberadaan Mbah Sri. Mengubek-ubek kota sejuk yang sempat dijuluki Belanda sebagai ‘De Schoonste Stad van Midden-Java’ alias ‘Kota Terindah di Jawa Tengah’ ini, ia pun menemukan rumah Mbah Sri, Senin, 18 September 2017.
“Sebuah rumah kecil nan reot di gang sempit,” kisah Munajat. Kebetulan saat itu, Mbah Sidiq, suami Mbah Sri, sedang berdiri di depan rumah. “Saya memperkenalkan diri dan menyampaikan keinginan utk bertemu Mbah Sri,” papar Munajat.
Mbah Sidiq mempersilahkannya masuk ke rumah kecil itu. Disambut oleh anjing tua Mbah Sri, bau pengap dan bau kurang sedap, tapi secuil kisah Mbak Dhani tentang Mbah Sri, membuat bau-bau itu terabaikan. Tetangga Mbah Sri bercerita, pernah ada petugas kesehatan ingin mengecek kesehatan Mbah Sri, tapi begitu masuk rumah, langsung keluar lagi dan muntah.
Setelah bercakap di ruang tamu, yang sebenarnya lebih mirip kandang kambing berhiaskan kursi dan tempelan foto-foto Mbah Sri dan Mbah Sidiq, ia pun masuk ke kamar Mbah Sri diikuti anjing tuanya. Saat itu Mbah Sri sedang sakit, dan tidak mau berobat, nampaknya takut masalah biaya. “Sekitar 10 menit saya bercakap dengan Mbah Sri di kamarnya yang pengap tanpa sinar dengan badan yang ditimbuni beberapa selimut kusut kotor, yang mungkin tidak pernah dicuci sejak didapat. Sulit masuk ke perjalanan hidupnya di masa penjajahan. Ingatan Mbak Sri sudah sangat lemah, tiap menit saya ditanya sinten ‘Njenengan, sopo kowe?’” papar Munajat.
Ia pun sempat bertanya tentang keadaan keuangan dan kehidupan beliau berdua. Mbah Sidiq menjelaskan, untuk menyambung hidup, mereka sering mendapat belas kasihan dan bantuan dari kerabat, tetangga serta pemerintah desa.
Menurut Mbah Sidiq, tahun lalu Mbah Sri sempat diundang ke Jepang dengan dua teman eks ‘jugun ianfu’ dari Surabaya dan Sukabumi. Ketika pulang, Mbah Sri, mendapatkan sejumlah uang oleh pihak dari Jepang, namun sesampai di Bandara Soekarno-Hatta, Mbah Sri ditipu oleh seseorang, sehingga uang itu pun lenyap. Setelah sadar tertipu, Mbah Sri shock, dan sampai di rumah Salatiga langsung sakit. Rejeki nomplok sudah di tangan, hilang seketika. Mungkin itu yang terlintas dalam pikiran beliau.
Besar kemungkinan, pemerintah daerah hanya tahu sebatas Mbah Sri sebagai orang tua miskin, belum tahu bahwa Mbah Sri merupakan ‘jugun ianfu’ termuda di Asia Tenggara, pada masa penjajahan Jepang.
Dua hari berikutnya, ketika acara KSP Goes to Campus berlangsung di IAIN Salatiga, Deputi V KSP sempat bercerita tentang Mbah Sri ke beberapa pejabat Pemkot, termasuk ke Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah Sri Puryono, anggota dewan pengarah UKP-PIP Mahfud MD dan dosen FISIP Universitas Indonesia Imam Pradsodjo. Semua pihak kaget dan tercengang. Asisten I Pemerintah Kota Salatiga langsung berkoordinasi, dan tim kecamatan langsung turun. Setelah acara di IAIN Salatiga selesai, para pembicara, tim KSP dan Pemkot langsung menuju rumah Mbah Sri.
Sesampai rumah Mbah Sri, semua seperti sedih, melas, dan speechless. Sesampai di kamar Mbah Sri yang sempit, pengap dan gelap, Jaleswari tak kuasa menahan tangis dan kepedihan menyembunyikan kepedihan, sedangkan sosiolog Imam Prasodjo hanya terdiam.
Jaleswari meminta Mbah Sri agar mau diajak ke rumah sakit, meyakinkan biaya akan ditanggung pemerintah, tapi lagi-lagi, jawaban Mbah Sri, “Njenengan Sinten? Kowe Sopo? (Kamu Siapa?)”. Sesekali ditimpali rayuan Munajat, “Mbah nanti kalau sudah sehat, saya ajak main ke Jakarta.” Akhirnya, Mbah Sri pun dikarikan ke RSU Salatiga.
Sri Sukanti merupakan ‘tumbal’ kemerdekaan bangsa ini. Masa depannya sudah pudar sejak dijadikan budak seks Jepang sejak umur 9 tahun, disuntik berkali-kali agar tak bisa hingga rahimnya bocor, tak memiliki keturunan dan sengsara di masa tua.
“Menyaksikan foto-fotonya di ruang tamu, saya membayangkan betapa cantiknya Mbah Sri ini di masa muda. Namun, penjajahan dan perbudakan telah merenggut semuanya. Sungguh sebuah kisah luar biasa,” kenang Munajat.
Satu ‘Mbah Sri’ telah diketemukan. Negara mencoba merawat dan memperhatikan di sisa hidupnya dengan baik. Semoga, ‘Mbah Sri-Mbah Sri’ lain yang terserak juga bisa diidentifikasi, ditemukan dan dipenuhi hak-haknya, sebagai warga negara yang pernah berjasa berjuang bagi negeri ini.
Sebagaimana ditayangkan di http://tz.ucweb.com/9_27tKO