Menebar Semangat Kewirausahaan di Kalangan Milenial

BOGOR – Jumlah pengusaha di Indonesia sangat tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Meskipun jumlah absolutnya relatif besar, akan tetapi persentase pengusaha dibandingkan jumlah penduduk Indonesia baru mencapai 1,65 persen. Sementara negara seperti Singapura sudah berada pada kisaran 7 persen, Malaysia sudah mencapai 5 persen, dan Thailand sekitar 3 persen.

Untuk itu, perlu upaya serius dan terencana untuk mendorong tumbuhnya minat kewirausahaan, terutama di kalangan anak-anak muda. Hadirnya pengusaha-pengusaha baru secara langsung akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, yang diiringi dengan penciptaan lapangan pekerjaan baru.

Kantor Staf Presiden bekerja sama dengan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Telkom Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Liputan6.com dan menyelenggarakan kegiatan yang disebut Kelas Inspirasi, dengan menghadirkan pengusaha yang telah berhasil membangun bisnisnya di Indonesia di kampus Institut Pertanian Bogor.

Acara ini merupakan yang keenam pada tahun 2017. Sebelumnya, Kantor Staf Presiden menggelar event serupa dengan pembicara berbeda-beda di Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Padang, dan Sidoarjo. “Seri KSP Goes to School Entrepreneurs Wanted! kali ini sengaja kami gelar di IPB menyambung kunjungan Presiden Jokowi saat menghadiri Sidang Terbuka Dies Natalis ke-54 IPB bulan lalu,” Kata Deputi III Kepala Staf Kepresidanan Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Ekonomi Strategis, Denni Puspa Purbasari dan sekaligus penanggung jawab program “Entrepreneur Wanted!” ini.

Entrepreneur Milenial

Generasi milenial banyak yang ingin punya bisnis sendiri. Sejalan dengan visi Presiden, Negara seharusnya lebih banyak digerakkan oleh inovator dan swasta, sementara peran pemerintah menjadi lebih sedikit. Hanya mengatur regulasi dan kebijakannya.

Indonesia memang harus terus melahirkan para entrepreneur untuk mengejar ketertinggalan dari sisi persentase terhadap penduduk totalnya. Indikator kemajuan negara, salah satunya memang diukur dari keberadaan para inovator dan entrepreneur.

Rektor IPB Prof. Dr. Ir. Herry Suhardiyanto menguraikan, IPB sudah puluhan tahun bergelut di bidang pembangunan pertanian, mulai dari kajian strategis, inovasi, sampai dengan pemasaran. Dari total 1.045 daftar inovasi di Indonesia, kontribusi IPB adalah sebesar 407 jenis inovasi atau sekitar 38,5%.

“Inovasi tidak boleh berhenti dalam daftar. Inovasi harus diantarkan ke tengah masyarakat, menjadi produk yang berguna bagi masyarakat, membuka lapangan kerja baru. Komersialisasi inovasi menjadi sangat penting. Tahun 2015 IPB mendapatkan penghargaan sebagai perguruan tinggi yang paling banyak mendapatkan sertifikasi inovasi.  Tapi itu semua tidak ada artinya jika mahasiswanya tidak tertarik menjadi entrepreneur. Mahasiswa harus menjadi barisan yang memajukan bangsa ini ke depan. Sekarang ini, lulusan IPB yang menjadi entrepreneur kurang lebih 5%.”

Herry bercerita, 10 tahun yang lalu, jika ditanyakan apa cita-cita mahasiswa IPB yang paling ingin cepat dicapai, jawabannya adalah ingin cepat lulus atau ingin cepat menikah. “Sekarang, cita-cita yang paling cepat dicapai adalah menjadi entrepreneur. Potensi pertanian Indonesia sesungguhnya luar biasa,” ujar Herry.

Herry juga menambahkan bahwa Presiden Jokowi dalam sambutannya pada Dies Natalis IPB 2017 juga menegaskan bahwa nilai tambah di proses hilirlah yang harus kita kejar.

Sementara itu, Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki mengaku senang kantornya bisa menghadirkan pengusaha seperti Husodo Angkosubroto dan Ivan Arie Sustiawan di kampus yang berbasis pertanian seperti IPB. “Mereka adalah entrepreneur yang berbasis agribisnis. Dan perlu kita tahu, PDB kita 56% disumbang dari sektor makanan,” ujar Teten.

Teten kemudian bercerita mengapa kantornya menggagas kegiatan semacam ini. “Program ini digagas untuk mendorong anak-anak menjadi entrepreneur. Kita punya peluang untuk melompat dari negara berpendapatan menengah menjadi negara maju. Generasi milenial akan menguasai seluruh sektor, mulai dari sektor pemerintahan, sektor publik, dan bisnis.”

Jeli Melihat Peluang

Perusahaan yang dikelola Husodo, Gunung Sewu Kencana, semula bergerak di bidang perdagangan dan palawija. Lalu mereka mengembangkan perkebunan nanas, ketika mendapatkan peluang itu dari partner bisnis mereka dari Taiwan. “Kami mulai memproduksi nanas dengan 5 lini produksi di atas lahan 6 ribu hektar. Sekarang menjadi 23 lini produksi dengan luas 30 ribu hektar,” terang Husodo.

Dari hasil pengolahan nanas ini, kemudian muncul limbah kulit nanas yang sebelumnya tidak termanfaatkan. Kulit nanas ini, ternyata dicari oleh pengusaha dari Jepang sebagai makanan ternak. Mereka membutuhkan kulit nanas dalam kondisi kering. Dari situlah kemudian Husodo mengembangkan dan memanfaatkan limbah tersebut pada peternakan yang diujicobakannya sendiri. Sekarang, Gunung Sewu Kencana sudah punya penggemukan sapi sendiri dengan kapasitas 120 ribu ekor.

Sementara itu Husodo juga memperoleh informasi bahwa nanas yang dijual di pasaran Jepang lebih masam dibandingkan nanas produksi Indonesia. Dari situ, ia mencoba mencari celah, mengirimkan orang untuk melakukan riset, sampai dengan menjajaki pasar di negeri matahari tersebut. Sekarang ini, Gunung Sewu Kencana sudah punya kantor untuk pemasaran nanas di Jepang, Korea, dan Tiongkok.

Husodo menegaskan, “Yang harus dibangun di Indonesia sekarang ini adalah kewiraswastaan atau kewirausahaan. Tujuan wiraswasta adalah mencari peluang, tetapi sebenarnya yang paling penting adalah mencari solusi yang dihadapi oleh masyarakat. Misalnya, di Indonesia produksi susu Indonesia kurang karena biayanya mahal. Maka, penting untuk menciptakan inclusive growth program, mengikutsertakan petani untuk mengejar kesejahteraan bersama.”

Sementara itu, startup pertanian yang didirikan oleh Ivan yakni Tani HUB dan Tani FUND merupakan usaha yang bergerak memberdayakan petani. Ia bercerita, pada tahun 2016, Tanihub bertemu dengan para petani tomat. Saat itu, para petani sedang panen tomat, tapi harganya di bawah harga pasar. “Dengan harga pokok produksi sekitar Rp1.200-Rp1.500, sementara harga jualnya kurang dari Rp1.000 rupiah per kilogram, petani memilih membiarkan tomatnya busuk di ladang,” papar Ivan.

Dari situ, muncullah jawaban bahwa seringkali dalam industri pertanian, terdapat ketidakterhubungan antara produksi dan pasar dalam proses distribusi komoditi pertanian. Maka, kemudian Ivan justru merancang model bisnis yang berbasis B2B atau business to business. Dari situlah kemudian Tanihub berhasil membangun hubungan yang lebih baik dengan para petani, dan mendistribusikan produk-produk mereka dengan harga yang lebih baik pula.

Selain itu, dalam proses interaksi dengan para petani, ia juga menemukan bahwa petani seringkali terjerat urusan utang dari tengkulak akibat modal yang terbatas. Dari situlah kemudian ia berpikir untuk membantu para petani keluar dari jeratan tengkulak melalui solusi yang disebut Tanifund. Hari ini, Tanifund sudah mengelola dan menyalurkan dana pinjaman sekitar Rp5 miliar.

“Permodalan dan penjualan hasil pertanian merupakan dua masalah klasik yang dihadapi para pelaku usaha pertanian di Indonesia. Sebagai startup lokal, TaniHub berupaya menawarkan solusinya. Prinsipnya, kami mendukung pertanian lewat platform teknologi,” kata Ivan Arie.

Leave a Reply

Your email address will not be published.