Nama Soekarno memang begitu melegenda. Seolah dunia tak tahu bahwa proklamator Indonesia itu sudah sekitar setengah abad tak lagi menjadi presiden dan pemimpin tertinggi bangsa ini. Paling tidak, kita bisa mencatat betapa Bung Karno amat dikagumi karena karakternya, dan pernyataan-pernyataannya yang keras, terutama di forum internasional.
“Go to hell with your Aid!”
“Inggris kita linggis, Amerika kita seterika!”
“Persetan dengan PBB!”
“Malaysia kita ganyang. Hajar cecunguk Malayan itu! Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu”
Ucapan-ucapan yang keras, dan -meminjam istilah Wapres Jusuf Kalla- amat ‘nakal’ di kancah global, sehingga mau tak mau membuat dunia menolehkan kepala ke Indonesia. Tak ubahnya perhatian internasional pada Kim Jong Un dari Korea Utara dan Rodrigo Roa Duterte sang penguasa Filipina saat ini.
Selain, pernyataannya, Bung Karno juga diingat dengan legacynya. Warisan infrastruktur Asian Games 1962 dan Ganefo 1963 menjadi catatan penting peninggalannya. TVRI, Bundaran Selamat Datang dan Hotel Indonesia, Jembatan Semanggi serta komplek olahraga Senayan yang kelak diresmikan puterinya dengan nama baru ‘Stadion Utama Gelora Bung Karno’.
Maka, sebuah kesempatan langka saat Senin siang, 9 Oktober 2017 tadi saya berkesempatan menengok kompleks Gelora Bung Karno, yang tengah memasuki tahap akhir menjelang menjadi tempat penyelenggaraan Asian Games 2018. Sebuah pesta olahraga Asia, yang kembali digelar di Indonesia setelah 56 tahun berselang. Dulu di era Bung Karno, dan kini di masa Jokowi.
Stadion Utama Gelora Bung Karno akan memiliki tempat duduk premium. 76.227 kursi single seat, sehingga penonton tak lagi duduk beralas beton. Kalau ditinggal berdiri, kursi itu otomatis melipat ke atas, ala-ala kursi tempat kita nonton bioskop di sinema XXI. Minus busa empuknya.
Di stadion nan megah yang bakal dipakai upacara pembukaan Asian Games ke-18 ini siap terpasang pula panel surya berkekuatan 420 kVA. Semua lampu diganti dengan LED, yang akan menambah beban atap sekitar 20 ton, sehingga harus dilakukan perkuatan struktur atap dengan sistem gelang.
Tingkat kecerahan lampu dalam kondisi normal adalah 3.500 lumens. Paling terang di dunia, sampai ketika nanti Bayern Muenchen selesai menambah lampu di Stadion Allianz Arena. Atau ketika Tokyo kelar merombak stadionnya buat Olimpiade 2020. Tapi, sampai dengan setidaknya 2 tahun lagi GBK adalah stadion dengan lumens paling tinggi di jagat ini.
Jika hujan atau berkabut, lampu bisa diatur secara terkomputerisasi sehingga siaran tivi tetap jernih, seperti kalau kita menonton liga bola Eropa di tivi.
Soekarno tahun 1960-an membangun GBK dengan standar teknologi saat itu dan menjadikannya terbesar pada masanya. Jokowi merehabnya kembali supaya sesuai standar teknologi masa kini. Dengan cara itu ia membangunkan warga negeri ini sehingga punya rasa percaya diri bahwa bangsa ini adalah bangsa yang besar.
Tak hanya GBK, komplek lain pun dipermak sedemikian rupa. Lapangan hoki berkarpet, stadion panahan menjadi sarana yang nyaman, juga dengan satu kepala satu kursi.
Dan, mampirlah ke komplek stadion aquatic, yang digunakan untuk kolam renang, loncat indah, dan polo air. Sebagai salah satu stadion renang terbesar di Asia ini, ia dilengkapi dengan kecanggihan terkini. Tribunnya dibuat ‘knock-down’ melipat ke tembok.
Pun demikian dengan Istora alias Istana Olahraga yang menjadi venue cabang olahraga kebangaan Indonesia, bulutangkis. Kursinya dipermak single seat, sehingga menonton 4 courts arena bulutangkis menjadi berkelas. Masih ada sih, tersisa beberapa lembar kursi jati yang tak dicopot di antara kursi-kursi baru nan eksklusif.
Gelora Bung Karno kian membanggakan dan mengangkat martabat Indonesia di mata dunia. Kita doakan, persiapan yang so far on the track ini berujung pada penyelenggaraan dan prestasi menggembirakan sekitar sepuluh bulan dari sekarang.
Dan, kelak, anak cucu kita, setiap berjumpa orang di luar negeri yang mendengar asal negaranya dari Indonesia selalu membalas dengan satu kata, “Indonesia? Jokowi?”
Sebagaimana ditayangkan di http://tz.ucweb.com/10_1mhFR