Dunia Indonesia sedih sekali saat kembali ada pemain sepakbola yang berakhir hidupnya di lapangan hijau. Penjaga gawang Persela Lamongan, Choirul Huda, meninggal dunia pada Minggu sore, 15 Oktober 2017 di Stadion Surajaya, saat tim ‘Laskar Joko Tingkir’ menjamu Semen Padang.
Huda, pemain paling senior yang dijuluki ‘one man club’ karena tak mau pindah klub selain Persela itu, menghembuskan nafas terakhir di RSUD Dr. Soegiri Lamongan usai insiden di akhir babak pertama. Huda berbenturan dengan rekan setimnya, Ramon Rodrigues, bek asal Brasi yang baru dibeli dari klub Vietnam. Huda dan Rodrigues sama-sama berusaha mengamankan gawang Persela dari gempuran penyerang Semen Padang, Marcel Sacramento.
Keterangan resmi RSUD Lamongan menyebut, Huda, kiper berusia 38 tahun yang membela Persela sejak 1999 itu meninggal karena mengalami hypoxia, atau penyumbatan aliran oksigen menuju otak. Hypoxia diduga terjadi dari adanya cedera di batang otak akibat benturan keras. Kiper kelahiran Lamongan 2 Juni 1979 itu dinyatakan meninggal dunia pada pukul 16.45 WIB. Persela Lamongan kemudian mengeluarkan rilis resmi bahwa Choirul Huda meninggal pada pukul 17.15 WIB.
Pernyataan Dokter Yudistiro Andri Nugroho, Spesialis Anastesi, Kepala unit Instalasi Gawat Darurat RSUD dr Soegiri Lamongan, terkait meninggalnya Choirul Huda penjaga gawang Persela Lamongan menjelaskan bahwa,
“Choirul Huda mengalami trauma benturan dengan sesama pemain, sehingga terjadi apa yang kita sebut henti nafas dan henti jantung. Oleh teman-teman medis di Stadion sudah dilakukan penanganan pembebasan jalan nafas dengan bantuan nafas. Kemudian dirujuk ke UGD RSUD dr Soegiri. Di ambulance juga ditangani secara medis untuk bantuan nafas maupun untuk penanganan henti jantung.
Sesampainya di UGD segera ditangani. Kita lakukan pemasangan alat bantu nafas yang sifatnya permanen. Kita lakukan inkubasi dengan memasang alat semacam pipa nafas. Itu yang menjamin oksigen bisa 100 persen masuk ke paru-paru. Dengan itu kita harapkan kita melakukan pompa otak sama jantung. Sempat ada respon dari Choirul Huda dengan adanya gambaran kulit memerah, tetapi kondisnya tetap semakin menurun. Pompa jantung dan otak itu dilakukan selama 1 jam tidak ada respon.
Tidak ada reflek tanda-tanda kehidupan normal. Kemudian kita menyatakan meninggal pada pukul 16.45. Kita sudah mati-matian untuk mengembalikan fungsi vital tubuh Choirul Huda”
“Sesuai analisa awal benturan ada di dada dan rahang bawah. Ada kemungkinan trauma dada, trauma kepala dan trauma leher. Di dalam tulang leher itu ada sumsum tulang yang menghubungkan batang otak. Di batang otak itu ada pusat-pusat semua organ vital, pusat denyut jantung dan nafas.
Mungkin itu yang menyebabkan Choirul Huda henti jantung dan henti nafas. Itu analisa awal kami, karena tim kami gak sempat melakukan scaning, karena mas Huda tidak layak transport dengan kondisi kritis seperti itu. Kita tidak bisa mengkondisikan untuk dibawa ke Radiologi. Kita lebih menangani kondisi awal”
Sebagai jurnalis, saya tak banyak berinteraksi dengannya. Hanya saja, Januari 2004, saat proses liputan pertama saya untuk Koran Tempo Minggu, saya mendapat tugas menulis kehadiran pemain asing di Indonesia. Dari Surabaya saya menuju ke Lamongan, berjumpa pemain asing asal Cili, Oscar Aravena yang tengah jadi sorotan saat itu.
Menjumpai para pemain yang sedang latihan di Stadion Surajaya, saya sempat mencolek Huda, yang pada 2004 sudah menjadi ikon dan pemain paling senior di Persela. Sebagai perbandingan dengan para legiun asing, saya pun bertanya kepadanya, berapa gajinya. Huda menjawab ramah, “Delapan juta per bulan, mas..”
Kini Huda telah kembali ke Sang Pencipta. Semoga Persela dan pemerintah kabupaten Lamongan memiliki inisiatif menjadikan namanya sebagai kenangan, entah itu nama stadion, nama jalan, nama mess klub, atau apa saja. Lebih daripada sekadar memensiunkan nomor punggungnya.
Kepergian Huda, sang legenda yang membela sejak Persela masih berada di Divisi II dan diganjar sebagai pegawai negeri di Dinas Olahraga dan Pemuda Kabupaten Lamongan mengundang simpati banyak pihak. Menpora Imam Nahrawi langsung menyatakan rasa duka mendalam. Demikian pula klub-klub Liga 1 lain, seperti dilakukan bos Madura United, Achsanul Qosasi, yang langsung menyerukan Sholat Ghaib timnya bagi Huda.
Huda bukan korban pertama di lapangan hijau Indonesia. Ada nama Eri Irianto dari Persebaya (2000), Jumadi Abdi gelandang PKT Bontang (2009), Akly Fairuz dan striker Persiraja (2014). Di posisi kiper ada nama Achmad Kurniawan, penggawa Arema yang Januari 2017 lalu berpulang akibat komplikasi penyakit jantung, asam lambung, hingga gangguan pernafasan.
Kehidupan dan kematian memang bisa bermula dan berakhir di mana saja. Termasuk di lapangan olahraga. Apalagi bagi mereka yang profesional di bidang itu. Ada nama Ayrton Senna da Silva, pebalap F-1 Brasil yang gugur di Sirkuit Imola, Italia pada 1994. Ada pula Nicky Haiden, mantan pebalap Moto GP yang berpulang Mei 2017 usai menjalani perawatab selama lima hari akibat ditabrak mobil Peugeot kala sedang bersepeda bersama 14 rekannya. ‘The Kentucky Kid’ pergi untuk selamanya di Maurizio Bufalini Hospital, Cesena, Italy.
Nama-nama itu bukan sekadar statistik atau catatan sejarah. Termasuk pula Huda. Tak cukup kata menyatakan rasa duka atas tragedi Minggu kemarin yang beritanya juga tayang di Skysports.com berjudul “Indonesian goalkeeper, Choirul Huda, dies after collision with team-mate.”
Selamat jalan Huda, selamat jalan sang loyalis. Pemberi pelajaran setia pada Persela Lamongan, dan setia pada profesinya…
Sebagaimana ditayangkan di http://tz.ucweb.com/10_1RZL2